Setelah Komitmen Istri Tahu Ternyata Suaminya Mempunyai Aib, Bolehkah Membatalkan Pernikahan?


Gambar ilsutrasi dilansir dari islamidia.com

Pak Ustadz...

Teman saya gres saja menikah, namun sehabis janji ia tahu bahwa suaminya mempunyai malu yang tak sanggup di maafkan.

Bolehkah membatalkan pernikahan tersebut, berdosakah bila ia minta pisah?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ulama berbeda pendapat terkait keberadaan malu pada salah satu pasangan, suami atau istri yang tidak diketahui sebelumnya.

Apakah sehabis tahu, pihak yang normal mempunyai hak untuk fasakh (membatalkan janji nikah)?.

Pendapat pertama

Jika salah satu pasangan menjumpai adanya malu pada pasangannya yang lain, misal istri menjumpai ada malu pada suaminya – dengan batas tertentu – maka boleh dilakukan fasakh nikah. Ini merupakan pendapat lebih banyak didominasi ulama.

Pendapat kedua

Tidak ada hak fasakh baginya untuk melaksanakan fasakh / membatalkan janji nikah. Ini merupakan pendapat Dzahiriyah.

Alasan masing-masing pendapat cukup panjang untuk dipaparkan di sini, pada dasarnya kembali kepada persoalan hak yang dijaga dalam syariat, yaitu hak khiyar.

Dalam semua akad, ada hak khiyar. Termasuk dalam janji jual beli.

Jika penjual atau pembeli merasa dirugikan dengan janji yang ia lakukan, dan sebelumnya ia tidak tahu, maka pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkan janji dengan hak khiyar yang ia miliki.

Jika ini berlaku dalam jual beli, seharusnya ini lebih berlaku dalam janji nikah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

"Kesepakatan yang paling berhak untuk kalian penuhi yaitu kesepakatan dalam janji yang menghalalkan kemaluan (akad nikah)". (HR. Bukhari 5151 dan Ahmad 17362).

Ibnul Qoyim mengatakan,

والقياس : أن كل عيبٍ ينفِّر الزوج الآخر منه ، ولا يحصل به مقصود النكاح من الرحمة والمودة : يوجب الخيار ، وهو أولى من البيع ، كما أن الشروط المشترطة في النكاح أولى بالوفاء من شروط البيع ، وما ألزم الله ورسوله مغروراً قط ، ولا مغبونا بما غُرَّ به ، وغبن به

"Analoginya, bahwa semua malu yang menjadikan salah satu pasangan menjadi benci kepada yang lain, sehingga tidak terwujud tujuan nikah, yaitu rasa kasih sayang dan kecintaan, maka ini mengharuskan adanya hak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad).

Dan hak khiyar dalam persoalan ini lebih dihargai dibandingkan hak khiyar dalam jual beli.

Sebagaimana pengajuan syarat dalam nikah lebih dihargai dibandingkan pengajuan syarat dalam jual beli. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan untuk bertahan dalam kondisi tertipu". (Zadul Ma’ad, 5/163).

Namun bila sehabis istri menjumpai malu itu dan ia ridha, maka tidak berhak untuk mengajukan fasakh.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

ومِن شَرْط ثبوت الخيار بهذه العيوب أن لا يكون عالماً بها وقت العقد ، ولا يرضى بها بعده ، فإن علِم بها في العقد أو بعده فرضي : فلا خيار له ، لا نعلم فيه خلافاً ؛ لأنه رضي به ، فأشبه مشتري المعيب

"Bagian dari syarat adanya hak khiyar malu ini yaitu ia belum mengetahui malu itu saat janji dan sehabis janji ia tidak rela.

Jika sudah diketahui saat janji atau ia rela sehabis akad, maka tidak ada hak khiyar baginya. Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam persoalan ini, sebab ia telah ridha. Sebagaimana orang yang membeli barang yang ada aibnya". (al-Mughni, 7/579).

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Related Posts