Terkuak! Tsunami Selat Sunda Bahwasanya Telah Diprediksi Semenjak 2012, Ini 2 Temuan Para Ilmuwan


Longsoran Gunung Anak Krakatau menjadikan tsunami Selat Sunda Sabtu (23/12/2018) (foto merdeka.com)

Baru-baru ini terkuak...

Tsunami Selat Sunda pada Sabtu (23/12/2018) malam kemudian sejatinya telah diprediksi oleh para ilmuwan, bahkan prediksi itu disajikan secara detil lewat sebuah makalah pada 2012 lalu.

Kenapa tak disosialisasikan pada masyarakat awam?

Tsunami Selat Sunda bukan kejadian biasa. Selama ini kita mengira, tsunami selalu diawali dengan gempa, setidaknya kekuatannya mencapai magnitudo 6,5 yang menggerakkan kerak bumi, memindahkan tubuh air di atasnya yang memicu penumpukan gelombang.

Biasanya, ada waktu emas (golden time) sampai 30 menit, untuk menyelamatkan diri, sebelum gelombang raksasa menerjang pantai.

Namun, bukan itu yang terjadi pada Sabtu malam 22 Desember 2018. Tanpa diawali lindu dan peringatan apapun, gelombang tsunami menerjang pesisir Banten dan Lampung, termasuk Pantai Tanjung Lesung yang kala itu ramai disesaki pengunjung.

Orang-orang di sana tak sempat menyelamatkan diri. Setidaknya lebih dari 400 orang meninggal dunia jawaban tsunami Selat Sunda.

"Tebing gletser yang runtuh, longsor, dan letusan gunung berapi juga sanggup memicu gelombang besar," kata mahir geofisika, Mika McKinnon menyerupai dikutip dari nationalgeographic.com, Selasa (26/12/2018).

Meski tiba tanpa peringatan, tsunami Selat Sunda Sabtu malam kemudian sejatinya telah diprediksi oleh para ilmuwan.

Prediksi itu disajikan secara detil dalam makalah berjudul Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia yang ditulis Dr Thomas Giachetti dari University of Oregon dan sejumlah ilmuwan.

Seperti dimuat volcanodiscovery.com, makalah tersebut diterbitkan pada Januari 2012. Berikut dua fakta di balik prediksi soal tsunami Selat Sunda:

1. Anak Krakatau Tak Stabil


Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Makalah tersebut memuat hasil pemodelan numerik yang menyimulasikan destabilisasi sebagian besar Gunung Anak Krakatau ke arah barat daya yang disusul pembentukan dan penyebaran tsunami.

Pulau Anak Krakatau tumbuh dengan pesat semenjak kemunculannya dari dalam bahari kali pertama diketahui pada 1928, sesudah Krakatau meledakkan diri pada 1883. Di tengahnya ada kaldera yang dikenal sebagai Gunung Anak Krakatau.

Sejak ketika itu, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, ia membangun kerucut yang tumpang tindih selama beberapa periode erupsi -- yang terakhir mulai pada Mei 2018 dan sampai sekarang masih berlangsung.

Pulau Anak Krakatau dibangun akrab dan berada di atas lereng bawah bahari yang curam, margin timur bahari cekungan kaldera yang ditinggalkan oleh letusan dahsyat Krakatau pada tahun 1883.


Itu mengapa, pulau tersebut rentan terhadap kegagalan gravitasi lereng (gravitational flank).

Konskuensi dari topografi bawah air ini, dikombinasikan dengan arus bahari yang kuat, lereng barat Anak Krakatau telah bermetamorfosis jauh lebih curam daripada di sisi timur.

Giachetti dan sejumlah ilmuwan mengamati, Anak Krakatau terus tumbuh ke arah barat daya.

Longsor di sepanjang lereng tersebut akan diarahkan ke kaldera Krakatau pada 1883 dan akan memicu gelombang yang akan merambat ke Selat Sunda dan pecah di wilayah pesisir.

2. Ketinggian Tsunami


Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12). Dari ketinggian Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi dengan mengeluarkan kolom bubuk tebal. (tribunnews.com/Susi Air)

Permodelan yang dibentuk Dr Thomas Giachetti dan sejumlah ilmuwan juga memperkirakan ketinggian gelombang di sejumlah lokasi.

Di Anyer, misalnya, gelombang setinggi 1,5 meter akan tiba 38 menit sesudah longsor terjadi.

Sementara, di pulau tetangga menyerupai Rakata atau Sertung, tsunami sanggup setinggi 15-30 meter, yang akan tiba kurang dari semenit sesudah longsor terjadi.

Dan, alasannya ialah sistem peringatan tsunami lokal dibentuk hanya mengandaikan gelombang raksasa hanya dipicu gelombang tektonik, tak ada peringatan yang sanggup diberikan untuk orang-orang yang kala itu berada di sepanjang pesisir Selat Sunda.

Selain itu, longsoran lereng terjadi pada malam hari dan menghasilkan kolom bubuk besar, yang mencapai ketinggian sekitar 15 km, dan gelegar ledakan uap yang jawaban interaksi tiba-tiba air dengan magma dan batuan panas yang tidak sanggup dilihat oleh orang-orang.

Ketika gelombang tsunami tiba, ia menjadi kejutan yang sama sekali tak diinginkan.

Perlu dicatat bahwa laporan itu ditulis 6 tahun yang lalu. Di banding situasi yang dijelaskan pada 2012, kerucut Anak Krakatau ketika ini lebih besar ke arah barat daya dan tinggi bertambah 30 persen.
Related Posts