Suami Tak Memperlihatkan Uang Nafkah, Masih Berdosakah Istri Menolak Kekerabatan Ranjang?


Gambar ilustrasi dilansir dari portalmuslim.com

Pak Ustadz...

Bagaimana hukummnya kalau suami enggan kerja dan tak menawarkan uang belanja pada istri, tapi suami selalu menuntut nafkah batin pada istri.

Lantas berdosakah kalau istri kemudian menolak seruan suami di ranjang?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suami maupun istri, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sebanding dengan posisinya. Karena itu, bentuk hak dan tanggung jawab masing-masing berbeda. Kaidah baku ini Allah nyatakan dengan tegas dalam al-Quran,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Para istri mempunyai hak yang sepadan dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar.” (QS. al-Baqarah: 228).

Diantara tanggung jawab terbesar suami ialah memberi nafkah istri. Allah berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum pria itu ialah pemimpin bagi kaum wanita, lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (wanita), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,

فاتَّقوا الله في النِّساء؛ فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحْلَلْتم فروجَهنَّ بكلمة الله، ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف

Bertaqwalah kepada Allah dalam menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan amanah Allah, kalian dihalalkan kekerabatan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim No.3009).

Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi bahaya keras bagi suami yang tidak memperhatikan nafkah istrinya.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرْء إثمًا أن يضيِّع مَن يقوت

Seseorang dikatakan berbuat dosa, saat beliau menyia-nyiakan orang yang wajib beliau nafkahi.” (HR. Abu Daud No.1694, Ibnu Hibban No.4240 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).

Ibnu Qudamah menyebutkan,

اتَّفق أهلُ العلم على وجوب نفقات الزَّوجات على أزْواجِهن، إذا كانوا بالغين؛ إلا النَّاشزَ منهنَّ، ذكره ابن المنذر وغيرُه

Ulama setuju suami wajib memberi nafkah istri, kalau suami telah berusia baligh. Kecuali untuk istri yang nusyuz (membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.” (al-Mughni, 9/230).

Sebaliknya, istri diperintahkan untuk mentaati suaminya. Selama suami tidak memerintahkan untuk maksiat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang perempuan melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka beliau dipersilahkan untuk masuk nirwana dari pintu mana saja yang beliau kehendaki.” (HR Ahmad No.1683, Ibnu Hibban No.4163 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang perempuan –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ al-Fatawa, 32/260)

Ketika Kewajiban Tidak Ditunaikan

Ketika salah satu tidak memenuhi kewajiban, maka yang terjadi ialah kedzaliman. Suami yang tidak memenuhi kewajibannya, beliau mendzalimi istrinya dan sebaliknya.

Hanya saja, dalam keluarga, Islam tidak mengajarkan membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan. Karena masing-masing akan mempertanggung jawabkan tugasnya di hadapan Allah kelak di hari kiamat.

Sehingga, saat suami tidak melaksanakan kewajibannya untuk istrinya, Islam tidak mengajarkan semoga tindakan itu dibalas dengan meninggalkan kewajibannya. Karena yang terjadi, justru timbul duduk kasus baru.

Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im ar-Rifa’i mengatakan,

فإذا قصَّر أحدُ الزَّوجيْن في حقِّ الآخر، فليس للآخَر أن يقصِّر في حقِّه، فكلٌّ مسؤول عن تقْصيره يوم القيامة.

Jika salah satu pasangan tidak menunaikan kewajibannya kepada yang lain, bukan berarti beliau harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada pasangannya. Karena masing-masing akan dimintai pertanggung tanggapan disebabkan keteledorannya, pada hari kiamat.”

Pelanggaran yang dilakukan oleh suami, tidak boleh dibalas dengan pelanggaran dari istri. Sehingga dua-duanya melanggar.

Karena itu, solusi yang diberikan pelanggaran balas pelanggaran, tapi diselesaikan dengan cara yang baik, antara bersabar atau kesepakatan nikah dihentikan.

Lalu apa yang harus dilakukan wanita?

Syaikh ar-Rifa’i melanjutkan,

وفي حالة تقْصير الزَّوج في الإنفاق، فالمرأة مخيَّرة بين أن تصبِر على ذلك، وبين أن تطلُب الطَّلاق، فإنِ اختارت الصَّبر، فإنَّه يَجب عليْها أن تُطيع زوْجَها، ويَجب عليها أن تؤدِّي كلَّ الحقوق الواجبة عليْها لزوجها، ومن ذلك حقُّه في الفراش، وإنِ اختارت الطَّلاق لَم تأثم بذلك

Ketika suami tidak menafkahi istrinya, ada dua pilihan untuk si wanita, antara bersabar atau melaksanakan gugat cerai. Jika beliau pilih bersabar, maka istri wajib untuk memenuhi kewajibannya kepada suaminya. Termasuk hak untuk melayani di ranjang. Dan kalau istri menentukan talak, beliau tidak berdosa.”

Al-Qurthubi mengatakan,

فهِم العُلماء من قوله تعالى: {وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} أنَّه متى عجَز عن نفقتها لم يكن قوَّامًا عليها، وإذا لم يكن قوَّامًا عليها، كان لها فسخ العقد لزوال المقْصود الذي شرع لأجْلِه النكاح

Para ulama memahami dari firman Allah, ‘Disebabkan mereka menginfakkan harta mereka.’ bahwa saat seorang suami tidak bisa menawarkan nafkah istrinya, beliau tidak disebut pemimpin bagi istrinya. Jika suami tidak lagi menjadi pemimpin bagi istrinya, maka istri berhak untuk melaksanakan gugat cerai. Karena tujuan nikah dalam masalah ini telah hilang.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/168).

Ibnul Mundzir mengatakan,

ثبت أنَّ عمر كتبَ إلى أُمراء الأجناد أن ينفقوا أو يطلِّقوا

Terdapat riwayat shahih bahwa Umar menulis surat untuk para panglima perang, semoga para suami menawarkan nafkah istrinya atau mentalak mereka.” (Dinukil dari Subul as-Salam, 3/224).

Demikian, Wallahu A'lam.

(Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits dari Muslimah.or.id)
Related Posts