Tanpa Surat Keterangan Dokter, Penderita Gangguan Jiwa Tetap Boleh Mencoblos!


Gambar ilustrasi dilansir dari wartabromo.com

Nah bagaiman berdasarkan Anda ihwal hal ini??

KPU revisi kebijakan, orang dengan gangguan jiwa boleh mencoblos tanpa surat dokter.

Seperti inilah alasan KPU dan banyak sekali pihak yang perlu Anda simak...

Dilansir Wajibbaca dari JawaPos.com, kamis 29/11/2018, KPU hasilnya mengubah aturan ihwal pemilih kategori orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

KPU menyatakan bahwa ODGJ yang ingin mencoblos tidak diwajibkan membawa surat rekomendasi dari dokter.

"Kalau penyandang disabilitas harus sanggup surat itu, berat, kasihan, tidak pas lah," ujar Komisioner KPU Viryan kepada Jawa Pos kemarin (24/11). Penyandang disabilitas yang di-maksud Viryan ialah ODGJ.

Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan statemen Komisioner KPU Ilham Saputra Rabu kemudian (21/11). Saat itu Ilham menyampaikan bahwa ODGJ bisa mencoblos kalau mempunyai surat keterangan sehat dari dokter.

"Bila dokter menyampaikan beliau bisa memilih, ya bisa. Jika tidak ada surat dokter, tidak bisa memilih," katanya waktu itu.

KPU akan memasukkan para ODGJ dalam kategori disabilitas, yakni disabilitas mental.

Viryan kemarin meluruskan info yang disampaikan Ilham tersebut. Menurut dia, keliru kalau surat rekomendasi dokter menjadi syarat wajib pemilih ODGJ. Jika direalisasikan, syarat itu akan menyulitkan pemilih ODGJ.

Kebijakan yang diambil KPU, lanjut dia, justru sebaliknya. Seluruh pemilih ODGJ bisa memperoleh hak pilih selama tidak ada surat dokter yang menyatakan pemilih tersebut tidak bisa secara mental.

''Jadi, semua bisa me­milih kecuali yang menerima surat keterangan dokter bahwa yang bersangkutan tidak bisa memilih," tegasnya.

Mantan komisioner KPU Kalimantan Barat tersebut menjelaskan, pihaknya ingin melayani semua warga negara Indonesia secara setara dalam pemilu.

Dari aspek manajemen misalnya, semua harus berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah dan mempunyai kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Dalam teknis pencoblosan di lapangan, standar pelayanan juga disamakan.

Dalam perkara ODGJ, standarnya diperlakukan sama dengan pemilih disabilitas lain. Yakni, selama masih mampu, yang bersangkutan bisa mencoblos secara mandiri.

Jika ada keterbatasan, penyelenggara pemilu akan menyediakan pendamping independen yang akan membantu secara teknis. Tapi, kalau tidak bisa sama sekali, penyelenggara tidak akan memaksakan pemilih tersebut.

''Dalam perkara disabilitas mental, contohnya beliau dibatasi ruang geraknya. Ya, dokter bisa mengeluarkan surat rekomendasi," tuturnya.

Viryan menyampaikan sudah mengomunikasikan kekeliruan info tersebut kepada beberapa penggagas disabilitas.

Perubahan kebijakan tersebut bisa jadi dipicu maraknya agresi protes. Sebab, begitu ada kabar ihwal ODGJ harus mengantongi surat dokter, muncul reaksi dari banyak sekali pihak.

Salah satunya tiba dari Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti. Yeni berharap ketentuan terkait surat rekomendasi dokter benar-benar dihapus sepenuhnya.

Dia beralasan, berdasar banyak sekali sumber hukum, ketentuan soal surat rekomendasi tidak pernah disebut. Baik UU Nomor 7 Tahun 2017 ihwal Pemilu, UU Nomor 8 Tahun 2016 ihwal Disabilitas, maupun konvensi-konvensi internasional ihwal disabilitas.

''Tidak ada yang menyatakan pemilih disabilitas harus menyertakan surat dari dokter," tegasnya dalam diskusi di kantor Bawaslu, Jakarta, kemarin.

Jika ada ketentuan surat tersebut, lanjut dia, kebijakan itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap ODGJ.

Padahal, lanjut dia, pada beberapa kategori tertentu, masih banyak penyandang disabilitas mental yang bisa beraktivitas sebagaimana orang pada umumnya. Misalnya, kuliah dan berdiskusi.

''Bahkan, di diskusi tadi banyak teman-teman yang ke sini," imbuhnya.

Selain itu, kata Yeni, disabilitas mental merupakan tanda-tanda kronis dan episodik (kambuhan). Sewaktu-waktu bisa kambuh, tapi juga bisa sembuh.

Saat sembuh, pemikiran, sikap, ingatan, dan sikap penderita menjadi mempunyai kapasitas untuk mencoblos. Bukan tidak mungkin, ketika ini sakit, tapi pada hari H pencoblosan malah sembuh.

Dia berharap KPU tidak mengatur secara diskriminatif. Sebab, kalau pada hari pencoblosan kondisinya kambuh, penderita ODGJ otomatis tidak akan tiba ke TPS. Hal itu juga dialami orang normal yang tengah sakit secara fisik.

''Ada juga orang sakit darah tinggi, gula darah tingginya kambuh mendadak. Dia tidak bisa bekerja, tidak bisa juga ke TPS. Jadi, tidak perlu surat-surat," tegasnya.

Anggota Pokja Koalisi Nasional Penyandang Disabilitas Mahmud Al Fasa menambahkan, kebijakan terkait rekomendasi juga menyulitkan secara teknis.

Sebab, jumlah dan keberadaan dokter atau psikiater di Indonesia tidak merata. Di wilayah Indonesia Timur, misalnya, jangankan dokter seorang hebat jiwa, dokter umum saja masih kurang.

''Kalau yang tinggal di rumah sakit atau panti mungkin ada dokter. Nah, yang di rumah-rumah ini bagaimana," kata dia.

Karena itu, kalau penyelenggara tidak bisa menyediakan dokter, sebaiknya ketentuan tersebut dihapuskan.

Dia juga mendesak KPU untuk berfokus pada kiprah lain. Misalnya, memastikan penyandang disabilitas mental terdaftar dalam DPT dan bisa memakai hak pilihnya.

Dia berharap koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah tempat dimaksimalkan.

Pada belahan lain, psikiater senior yang juga Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia Dr dr Irmansyah SpKjK meminta semua pihak tidak perlu khawatir dengan kualitas pemilu kalau ODGJ menerima kanal mencoblos.

Dalam konteks pilpres, misalnya, semua calon merupakan orang terbaik yang dipersiapkan banyak partai.

''Siapa pun yang dipilih kan bukan sesuatu yang salah juga," ujarnya.

Untuk itu, beliau mengajak publik tidak mendesak kelompok penyandang disabilitas mental seperti harus mempertanggungjawabkan pilihan di pemilu.

Sebab, sudah berkali-kali pemilu dilaksanakan, setiap pemilih dengan banyak sekali latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi juga tidak pernah dituntut atas setiap pilihannya.

Nah bagaimana berdasarkan Anda? sudah tepatkah peraturan ini?