Anjuran Rasulullah Bagi Mahasiswa Yang Kebelet Ingin Menikah
Solusi sempurna bagi Mahasiswa yang sudah kebelet nikah.
Jangan lama-lama pacaran. Jika penghalangmu cuma problem kuliah, eksklusif nikah aja.
Bahkan ini sudah di anjurkan Rasulullah sedari dulu.
Pertama, di zaman ketika syahwat banyak tersebar, dianjurkan untuk menikah muda.
Nabi memerintahkan para cowok untuk segera menikah. Karena ini solusi untuk meredam syahwat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah bisa untuk menikah, maka segeralah menikah, alasannya yaitu nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
Imam Ahmad pernah menunjukkan nasehat,
ينبغي للعبد في هذا الزمان أن يستدين ويتزوج لئلا ينظر ما لا يحل فيحبط عمله
Jika demikian di zaman imam Ahmad, bagaimana lagi dengan zaman sekarang?!
Kedua, BUKAN syarat dan bukan pula kewajiban dalam islam bahwa siapapun yang melaksanakan ijab kabul harus segera kumpul dan melaksanakan kekerabatan badan. Artinya, boleh saja suami istri berpisah sesudah komitmen nikah, hingga batas waktu sesuai kesepakatan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ia berusia 7 tahun. dan Beliau gres kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
:
- MasyaAllah, Ternyata di Kehidupan Ini Terdapat Pohon Tauhid dan Pohon Syirik
- Inilah 3 Amalan yang Pahalanya Sama Dengan Ibadah Haji dan Umroh
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus eksklusif kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
(ومن استمهل منهما) أي الزوجين الآخر (لزمه إمهاله ما) أي: مدة (جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها (كاليومين والثلاثة) طلبا لليسر والسهولة، والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Bisa juga batasan penundaan itu kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق عليه الزوجان
Mahasiswa dan mahasiswi yang menikah, mereka berhak untuk menunda kumpul, sesuai kesepakatan. Baik alasannya yaitu pertimbangan belajar, atau masukan dari orang renta atau alasannya yaitu pertimbangan lainnya, termasuk pertimbangan problem nafkah.
Bagaimana untuk tanggungan nafkah?
Ketiga, menjawab mengenai kewajiban nafkahUlama setuju bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istrinya dengan ketentuan:
[1] Istri telah baligh
[2] Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama setuju bahwa suami wajib menafkahi isterinya jikalau isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
[3] Istri telah melaksanakan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melaksanakan kekerabatan tubuh atau pisah dengan suaminya alasannya yaitu alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ijab kabul dengan Aisyah ketika usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali sesudah kekerabatan tubuh di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
أن المرأة إذا سلمت نفسها إلى الزوج , على الوجه الواجب عليها , فلها عليه جميع حاجتها
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib dengan Syarahnya Asna al-Mathalib Kitab Syafiiyah ,
لا تجب النفقة بالعقد بل بالتمكين
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melaksanakan komitmen nikah, kemudian mereka berpisah hingga batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing. Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Keempat pendapat diatas dijawab oleh Ustadz Ami Nur Bait dari konsultasisyariah.com.
Bagaimana berdasarkan anda para mahasiswa ? masih ingin terus berpacaran ?
Demikian, Allahu a’lam…
Related Posts