Jangan Dulu Menghujat, Ini Kronologi Lengkap Di Balik Pemotongan Nisan Salib Di Yogyakarta


Salib di Yogyakarta. ©2018 Merdeka.com/Purnomo Edi

Jangan dulu menghujat sebelum tahu duduk perkaranya...

Apalagi hingga menuduh masyarakat muslim anti toleransi, radikal dan lain sebagainya.

Terkait viralnya foto pemotongan nisan salip di pemakaman yokyakarta, menyerupai ini fakta dan kronologi lengkapnya...

Sebuah makam atas nama Albertus Slamet Sugihardi di pemakaman Jambon, RT 53/RW 13, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta menjadi viral di media sosial.

Viralnya wacana makam ini sesudah akun facebook Iwan Kamah memposting kisah pemotongan nisan Albertus Slamet Sugihardi yang tadinya berbentuk salib menjadi berbentuk T.

"Mohon doanya pejabat pemerintah dan warga non Muslim yang saya kasihi. Hi, Jogja, How are You? " demikian tertulis dalam unggahan tersebut.

Berbagai kisah yang berlum terverifikasi beredar luas mengenai insiden ini, mulai dari larangan untuk menghadirkan simbol agama dan lain sebagainya hingga menyebabkan hujatan-hujatan yang justru menyudutkan umat muslim.

Agar tak terjadi kesalah fahaman, berikut ini penjelasan lengkap dari banyak sekali pihak terkait fakta foto viral tersebut:

Penjelasan warga

Bedjo Mulyono, seorang tokoh masyarakat di Purbayan, Kotagede, bercerita, hari itu, pada hari meninggalnya Slamet, para tetangganya eksklusif berdatangan begitu mendengar kabar sedih tersebut.

Mereka membantu mempersiapkan banyak sekali hal, baik di rumah sedih maupun di pemakaman.

"Warga Muslim di sini tiba membantu, ya mulai menyiapkan tikar, tenda, hingga sound system. Bahkan warga Muslim juga membantu menggali kubur," tuturnya, menyerupai dilansir dari Kompas.com, Selasa (18/12/2018).

Keputusan untuk memakamkan almarhum di pemakaman Jambon Purbayan, pemakaman warga Muslim, juga mengalir begitu saja. Keluarga sepakat, warga juga tak keberatan alasannya Slamet yakni warga setempat.

"Boleh dan warga tidak keberatan dimakamkan di sana, meski almarhum non-Muslim dengan catatan dilarang ada simbol, kemudian posisi makam di pinggir biar tidak ada simbol ya dipotong," ungkap Bedjo.

"Keluarga ditanya tidak duduk kasus dan tidak keberatan. Kaprikornus itu sudah ada janji antara warga dan keluarga. Pemakaman juga berjalan lancar tidak ada masalah," tambahnya kemudian.

Slamet, lanjut Bedjo, dikenal sebagai pribadi yang baik oleh para tetangganya di RT 53. Hubungan almarhum semasa hidupnya dan keluarga dengan warga juga sangat baik. Dia dikenal aktif dalam acara bersama para tetangganya.

"Hubungan Pak Slamet dengan warga baik, tidak ada masalah. Pak Slamet melatih paduan bunyi juga. Di sini (Purbayan) ada tiga RW, lebih banyak didominasi Muslim, yang non-Muslim ada tiga rumah, dan hubungannya baik," ujarnya kemudian.

Oleh alasannya itu, Bedjo membantah bahwa telah terjadi agresi intoleransi di wilayah daerah tinggal mereka menyerupai yang disebutkan di media sosial.

"Di sini memang lebih banyak didominasi Muslim, tetapi toleransi. Tidak benar jikalau dikatakan tidak toleransi," ujar Bedjo.

Bagaimana dengan kisah adanya larangan pembubaran doa arwah di rumah duka?

Ketua RW 13 Purbayan, Kotagede, Slamet Riyadi, membantah telah terjadi pemaksaan pelarangan atau pembubaran doa arwah di rumah duka.

Warga sudah mempunyai janji untuk tidak menggelar ibadah di rumah-rumah.

"Tidak ada pemaksaan. Kesepakatan warga jikalau ada ibadah, dimohon untuk tidak di sini tetapi dialihkan. Terus pada malam hari dilaksanakan di Gereja Pringgolayan dan sudah janji dengan keluarga juga," ungkap Riyadi.

Riyadi menuturkan alasannya meminta biar ibadah doa arwah dipindahkan yakni demi menjaga kerukunan alasannya warga Purbayan RT 53/RW 13 di Kotadede lebih banyak didominasi beragama Islam.

"Untuk menjaga kerukunan dan kekeluargaan di kampung sini biar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan," tuturnya.

Sepakat dan sudah selesai


Foto surat pernyataan atas nama Maria Sutris Winarni, istri almarhum Albertus Slamet Sugiardi, beredar sehari sesudah Slamet meninggal dan dimakamkan terkait insiden kayu nisan salib dipotong di bab atasnya.(handout)

Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman juga mengungkapkan bahwa tidak ada paksaan dalam memindahkan ibadah doa arwah.

Warga, lanjut dia, hanya menyarankan biar tidak dilaksanakan di rumah sedih dan pihak keluarga oke untuk memindahkan penyelenggaraannya ke Gereja Pringgolayan.

"Tidak ada paksaan, Itu kan bergotong-royong cuma disarankan dari warga. Keluarga sendiri memahami. Kondisi di sini kondusif, tidak seheboh yang ada di media sosial," kata Abdul ketika dikonfirmasi, Selasa.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari keluarga maupun warga, lanjut Abdul, polisi melihat bahwa pihak keluarga dan warga setempat sudah mencapai janji untuk pemakaman almarhum Slamet di pemakaman Purbayan dengan catatan-catatan tertentu. Pihak keluarga juga tidak keberatan dan mempermasalahkannya.

"Kesepakatan juga dituangkan dalam suatu pernyataan walaupun pernyataan itu gres dituangkan secara resmi kini (tanggal 18 Desember), tetapi kemarin itu sudah ada pernyataan secara lisan," ungkapnya.

Foto surat pernyataan atas nama Maria Sutris Winarni, istri almarhum Slamet, beredar sehari sesudah Slamet meninggal dan dimakamkan.

Surat pernyataan itu ditandatangani sang istri di atas materai. Terdapat pula tanda tangan Bedjo mewakili tokoh masyarakat, Soleh Rahmad Hidayat sebagai Ketua RT 53 dan Riyadi sebagai Ketua RW 13.

"Menyatakan bahwa pemotongan papan nama Albertus Slamet Sugiardi yang ada di makam Jambon untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran dari pengurus makam, tokoh masyakarat dan pengurus kampung, saya sanggup mendapatkan dengan nrimo hati dan tidak ada permasalahan lagi. 

Demikian surat pernyataan ini dibentuk dengan bergotong-royong atas kesadaran dan janji kami bersama dan apabila terjadi hal di luar janji ini yakni bukan kehendak kami dan di luar tanggung jawab kami," demikian bunyi isi surat tersebut.

Penelusuran Kevikepan

Pasca-munculnya kabar insiden ini, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Daerah spesial Yogyakarta, merilis keterangan tertulis pada 19 Desember 2018.

Kevikepan yakni forum yang menjadi sentra koordinasi sejumlah paroki di suatu wilayah.

Keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Ketua KKPKC Kevikepan DIY Ag. Sumaryoto ini memuat hasil penelusuran Kevikepan terhadap keterangan dari keluarga korban, pengumpulan data, koordinasi dengan tokoh - tokoh umat paroki Pringgolayan, dan pertemuan dengan banyak sekali pihak, mulai dari tokoh lintas kepercayaan di FPUB, Kapolsek, hingga Danramil hingga pertemuan dengan tim pencari fakta FPUB DIY/Tim Kanwil Depag.

Dalam keterangan ini, Kevikepan menyebutkan bahwa status makam ketika terjadi pemakaman merupakan makam umum. Selain itu, dibenarkan bahwa interaksi warga dengan keluarga selama ini memang sangat baik.

"Tetapi ada sekelompok orang pendatang dengan pinjaman luar yang memberi tekanan fisik dan psikis secara eksklusif maupun tidak eksklusif melalui sebagian warga," demikian bunyi pernyataan tersebut.

Pihak Kevikepan juga menyebutkan bahwa surat pernyataan istri almarhum yang beredar awalnya dibawa oleh 7 orang dari pihak kelurahan, polsek, koramil, dan pengurus kampung.

"Surat kemudian ditandatangani istri almarhum. Penjelasan yang diberikan kepada istri almarhum yakni untuk mengatasi isu yang berkembang luas di media sosial," demikian isi surat selanjutnya.

Kevikepan DIY pun meminta abdnegara polisi untuk memperlihatkan proteksi kepada keluarga korban dari segala bentuk tekanan dan bahaya sesudah insiden ini.

"(Meminta) abdnegara keamanan menyikapi secara serius adanya bahaya serius terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat dan memperjuangkan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika," demikian bunyi poin terakhir yang tertulis dalam keterangan tersebut.

Sultan HB X minta maaf


Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti ketika menggelar jumpa pers mengenai pemotongan nisan salib di Kotagede, Kamis (20/12/2018).(TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah)

Dua hari sesudah polemik ini mengemuka, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X menggelar jumpa pers.

Sultan secara terbuka memberikan permohonan maaf kepada keluarga almarhum Slamet dan Kevikepan DIY atas insiden di Purbayan, Kotagede.

"Kepada Bu Slamet maupun kepada Vikep, saya memberikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dari insiden yang ada ini. Biar pun tadi didengar ketidaksengajaan, tetapi saya wajib sebagai pembina wilayah menyatakan permohonan maaf," ujar Sultan dalam jumpa pers, Kamis (20/12/2018).

Video undangan maaf Sultan dalam jumpa pers itu juga diunggah di akun YouTube Humas Jogja. Sultan berharap, insiden di Purbayan tersebut menjadi pembelajaran seluruh warga Yogyakarta dalam menjaga toleransi dan harmonisasi kerukunan masyarakat sehingga tidak terulang kembali.

"Ini bagi kita pembelajaran semua, bagaimana masyarakat Yogya itu tetap menjaga toleransi, menjaga harmoninya masyarakat tetap rukun, tenang dan merasa aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta," tegasnya.

Sultan kemudian menegaskan bahwa sebagai Gubernur, dirinya mempunyai kewajiban untuk menjaga Yogyakarta menjadi wilayah dengan toleransi tinggi sehingga siapa pun yang tinggal di Yogyakarta merasa aman dan nyaman.

"Apa artinya demokratisasi di Yogya paling tinggi jikalau terjadi intoleransi yang balasannya menyebabkan duduk kasus dan imbas yang merugikan kebersamaan sebagai masyarakat Yogyakarta," ucapnya.

Sri Sultan menuturkan, kekerabatan antara warga di Purbayan, Kotagede, selama ini berjalan baik tanpa membeda-bedakan asal usul maupun agamanya. Hubungan almarhum Slamet dan keluarga dengan masyarakat juga terjalin baik. Almarhum Slamet dan istrinya pun dikenal aktif berkegiatan di masyarakat.

"Masyarakat melayat, ikut berperan mengantarkan mayat dan sebagainya tanpa membeda-bedakan asal usul dan agamanya. Proses pemakaman itu, masyarakat dalam kondisi guyub rukun," tuturnya.

Menurut Sultan, memang sudah ada janji antara keluarga dan warga sebelum diputuskan untuk memotong nisan kayu berbentuk salib. Hanya saja, Sultan menilai ada ketidaktanggapan terhadap simbol-simbol keagamaan yang dijamin konstitusi.

Seharusnya, lanjut Sultan, setiap janji yang diambil, meski bertujuan untuk menjaga harmoni masyarakat, tak boleh bertentangan dengan konstitusi.

"Agama dan simbol-simbol keagamaan itu dijamin dalam konstitusi, di sini kita semua kurang tanggap terhadap simbol-simbol itu. Hanya mungkin mengambil praktisnya saja sebagai bentuk kompromi," tuturnya.

"Saya mengingatkan kepada pejabat wilayah harus sanggup mengingatkan, biar memberitahu untuk tidak keliru dalam penerapan," tegasnya.

Semoga informasi ini bermanfaat, dan tak lagi menyebabkan polemik apalagi hujatan yang berujung perpecahan di masyarakat.
Related Posts