Masih Banyak Yang Salah Kaprah, Tak Semua Keturunan Rasulullah Disebut Habib


Ketua Umum DPP Rabithah Alawiyah, Habib Zen bin Smith dan Duta Besar Yaman, Ali Ali Alsoswa Foto: Rabithah Alawiyah

‘Gelar’ habib tidak dapat disematkan kepada setiap keturunan Rasullullah Saw.

Menurut Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad Saw di Indonesia, "Rabithah Alawiyah", fenomena ini perlu diluruskan.

Karena ketika ini, banyak orang yang mengaku sebagai seorang "habib" padahal bukan.

Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan, banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan habib. Fenomena itu tentu perlu diluruskan.

Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang dicintai. Adapun, habaib yaitu kata jamak dari habib. Kaprikornus tidak semua keturunan Rasulullah dapat disebut habib.

Keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib.

Zen menjelaskan, di Indonesia para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein. Maka banyak yang disebut sayyid. Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan menjadi raja atau presiden ibarat di Maroko, Jordania, dan daerah Timur Tengah.

Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh menjelma Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Dia mengatakan, ketika ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang "Habib", padahal bukan

‘Gelar’ habib, kata dia, tidak dapat disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib.

Seorang sayyid, lanjutnya, tidak dapat menyampaikan bahwa dirinya sendiri yaitu habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan banyak sekali persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus mempunyai ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, lapang dada terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, yaitu etika yang baik.

Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi gila jikalau seseorang mengaku-ngaku dirinya yaitu seorang habib.

Dari proses zaman ke zaman, orang risikonya menamakan semua keturunan sayyid menjadi habib. “Padahal seharusnya tidak,” katanya.

Artinya, kata dia, dari waktu yang cukup usang orang menyampaikan mana habib dan mana yang sayyid, untuk membedakan bahwa habib yaitu ulama-ulama.

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit referensi dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Penyebutan "habib" terjadi degradasi kualitas

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, penyebutan habib terjadi degradasi kualitas.

Panggilan habib lebih dijadikan sebagai panggilan keakraban atau panggilan kekerabatan. Sementara di sisi lain, banyak kalangan dari sayyid sendiri maupun dari kalangan habib sendiri ingin memakai gelar habib untuk dakwah.

Tapi, risikonya melenceng, mereka mentitelkan dirinya sendiri,” katanya ketika ditemui di kantornya, ibarat dilansir dari republika.co.id.

Saat ini, kata Zen, di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah (marga) dari keturunan Rasulullah, termasuk di Indonesia. Hanya saja, Rabithah Alawiyah masih melaksanakan proses pendataan secara detail berapa jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia.

Jumlah persis kita belum tahu. Tapi estimasi berangasan sekitar 1-1,5 juta orang dan ketika ini proses verifikasi,” ujarnya.