Perjuangan Antara Hidup Dan Mati , 6 Perempuan Satu Keluarga Terjebak Lumpur Petobo


Kondisi Petobo pasca gempa (foto: brilio.net)

MasyaAllah, Alhamdulillah...

Suatu nikmat Allah yang luar biasa ketika petaka tak menimpa kita.

Berkaca dari apa yang dialami saudara-saudar kita yang sedang tertimpa petaka di Palu. Maka nikmat Allah mana lagi yang akan kita dustakan!

Wajib baca, kisah haru 6 perempuan satu keluarga berjuang hidup untuk keluar dari "neraka" lumpur Petobo.

Baru saja Desi Mahfudzah (20) menggantungkan handuknya di kamar mandi, ketika tiba-tiba dinding kamar mandi, juga rumahnya, ambruk pada 28 Septermber lalu.

Tak sempat menggunakan baju, ia sudah terperosok dalam kubangan lumpur yang sangat becek. Ia menjerit sekerasnya, minta tolong kepada siapa saja yang mendengarnya.

Namun orang-orang di sekitarnya juga menjerit minta tolong. Mereka semua ketakutan luar biasa dan menangis sekerasnya. Dari ujung kampung pun yang terdengar hanya jeritan minta tolong.

Saat matahari karam pada sore itu, merupakan momen kelam bagi Desi dan warga Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Gempa besar bermagnitudo 7.4 itu meneror mereka.

Di Petobo, RT 3 RW 2, tempat tinggal Desi Mahfudzah, kenangan ini sangat kelam.

Ia menyaksikan para tetangga, sobat sepermainan, dan kenalannya karam ditelan lumpur yang muncul dari dalam perut bumi.

Saya masih sempat mendengar bunyi azan. Namun tidak terus sebab tiba-tiba semua berguncang hebat, rumah ambruk, gelap menyergap seluruh wilayah Petobo,” kata Desi, Sabtu (13/10/2018), menyerupai dilansir dari kompas.com.

Ia melihat rumahnya ambruk, juga rumah-rumah tetangganya. Tiba-tiba, tempat ia berpijak pelan-pelan meleleh, mencair, dan menjadi kubangan lumpur.

Desi mendengar bunyi ibunya, Nani (42), yang memanggil anak-anaknya biar berkumpul bersamanya. Mereka saling peluk. Desi pun memeluk erat-erat Irma Safitri (18), Aulia Rahmadani (14), Anggun Rahmadani (13), dan si bungsu Riskiyah (2).

Pada Jumat 28 September itu sesudah matahari melewati garis cakrawala, mereka sangat ketakutan.

Desi Mahfudhah bersama ibu dan 4 adiknya berjuang selama 8 jam untuk keluar dari lumpur likuefaksi yang melanda Kelurahan Petobo, Palu, sesudah ada gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018.(KOMPAS.COM/ROSYID AZHAR)

Ayah Desi ketika itu sedang bekerja di Biromaru, Kabupaten Sigi.

Kami mengingatnya sebagai masa yang menakutkan, padahal sehari sebelum gempa kami sedang berbahagia merayakan ulang tahun ke-2 Riskiyah,” kata Desi.

Mereka semakin masuk ke dalam lumpur. Kaki mereka berusaha mencari pijakan yang keras. Namun sepanjang kaki mereka mencari-cari tempat yang keras, yang mereka rasakan hanya lumpur lembek.

Sementara itu, jeritan minta tolong muncul dari seluruh penjuru Petobo. Namun tidak ada yang bisa menolong. Semua orang berusaha mempertahan diri biar tidak karam makin dalam di lumpur.

Pepohonan tumbang membantu kaki mereka beristirahat sejenak, kaki mereka berpijak pada ranting atau dahan.

Dalam gelapnya malam, mereka berusaha mencari tanah keras untuk bisa keluar dari neraka lumpur itu.

Malam itu kami masih mendengar bunyi minta tolong dari kejauhan, namun suaranya makin berkurang dan lemah,” ujar Desi.

Ia masih ingat pada malam itu menyaksikan beberapa rumah terbakar. Mungkin ada ibu-ibu yang tengah masak dan tak sempat mematikan kompor gas pada ketika bumi berguncang keras. Api kemudian melalap dapur kayu atau materi lain yang gampang terbakar.

Kami terus melangkah mencari tanah keras yang bisa menjadi pijakan, kami menemukan kayu panjang. Kayu inilah yang kami gunakan untuk menerka kedalaman lumpur, jikalau terlalu dalam kami tidak akan melangkah. Jika menemukan yang keras menyerupai atap rumah atau dinding, kami lanjutkan perjalanan,” tutur Desi.

Mereka berenam bergandengan. Yang paling depan yaitu Nani, ibu mereka, kemudian disusul Irma, Anggun, Aulia (14), dan Desi. Si bungsu Riskiyah mereka gendong bergantian.

Sempat Pingsan

Desi sempat pingsan. Sepulang  bekerja  pada sore itu ia belum sempat makan. Adik-adik dan ibunya menepuk-nepuk tubuhnya biar siuman. Ia berulang kali pingsan.

Kami berjalan dalam lumpur setinggi dada orang desawa, sangat berat dan melelahkan. Kami bisa saja karam jikalau salah meletakkan kaki,” dongeng Desi.

Ibu mereka selalu memberi semangat, mereka harus berzikir dan berkonsentrasi pada setiap langkah.

Kami mendengar bunyi minta tolong dari kejauhan, waktu itu sudah larut malam. Namun dari arah bunyi tiba-tiba  muncul api besar, kemudian tidak terdengar lagi suaranya,” kenang Desi.

Mereka terus melangkah ke tempat yang lebih tinggi dengan susah payah, wajah mereka sudah penuh lumpur. Kaki mereka terus mencari-mencari pijakan yang keras untuk bisa terus melangkah. 

Kami juga melihat ternak yang sudah tak bergerak, terlihat hanya kepalanya saja,” ujar Anggun, adik Desi.

Pada suatu titik, mereka merasa lumpur makin cair. Tiba-tiba ada yang mengetahui arah mereka. Orang itu menyorotkan lampu senter ke arah mereka. Ia seorang laki-laki yang bertahan di bubungan rumah yang ambruk.

Jangan ke atas, di sini lumpur semuanya,” kata laki-laki itu.

Mereka pun berpaling arah, mencari kepingan yang keras.

Sempat menemukan perempuan tua

Mereka sempat menemukan seorang perempuan renta yang membisu dalam genangan lumpur, hanya leher dan kepalanya yang terlihat.

Mereka berusaha menolong dengan mengajak jalan.

Biarlah nenek di sini, nenek sudah renta dan tak bisa berjalan. Jalanlah mencari tempat yang baik,” kata nenek tersebut.

Nenek itu sudah menetapkan pilihannya untuk membisu dalam lumpur.

Nani dan keluarganya pun meneruskan perjalanan dengan perasaan sedih. Mereka banyak menjumpai orang-orang yang sudah kelelahan, membisu terpaku.

:

Menemukan impian hidup

Malam makin larut, dinginnya lumpur itu lama-lama mereka tak rasakan lagi. Semangat mencari keselamatan terus bergelora, sampai jadinya mereka menemukan tanah yang keras.

Kami ambruk kelelahan dan orang-orang yang berada di atas menolong kami, membasuh kami dengan air higienis meskipun rumah mereka telah roboh. Kami diberi baju,” ujar Desi.

Saat menemukan tanah keras itu, jam menawarkan pukul 02.00 Wita. Ini berarti mereka telah berjuang dalam lumpur selama 8 jam. Mereka selamat dari petaka lumpur itu.

Keesokan, ketika lumpur mulai mengeras saya menyaksikan banyak orang yang tertimbun, ada yang terlihat hanya kepalanya, ada yang menyisakan tangannya, semua sedih. Ini peristiwa yang dahsyat,” ujar Desi.

Mengungsi di Petobo kepingan atas

Kini Desi dan keluarganya mengungsi di Petobo kepingan atas, sebuah padang luas yang hanya ditumbuhi semak.

Ayahnya yang tukang kayu menciptakan rumah panggung sederhana.

PT Jiwasraya, perusahaan asuransi BUMN, telah memberi bantuan.

Rumah kayu itu menjadi tempat tinggal sementara. Tidak jauh dari lokasi itu, berderet tenda-tenda pengungsi yang senasib dengan mereka.