Perselisian Ulama Mengenai Aturan Bekam Itu Sunah Atau Mubah, Berikut Yang Lebih Utama


Image from islamedia.com

Kebiasaan orang meyakini bahwa aturan melaksanakan bekam yakni sunnah. 

Tapi dikalangan ulama bekam ini justru menjadi peselisihan mengenai aturan melakukannya.

Ada yang menyampaikan sunah ataupun mubah.

Mungkin selama ini sebagian dari kita mengetahui bekam yaitu sunnah. Perlu diketahui ada peselisihan ulama mengenai aturan bekam (thibbun nabawi), apakah bekam ini sunnah atau bukan sunnah.

Dalam hal ini kita harus berlapang dada mendapatkan perbedaan dan saling menghormati, tidak menyebabkan perbedaan menyerupai ini sebagai sarana permusuhan, menyerupai yang dikutip oleh islamidia.com.

Di mana ulama yang berbeda pendapat saja tidak berdebat dan bermusuhan alasannya yaitu sesama kaum muslimin saling bersaudara. Begitu indahnya pedoman Islam.

Ada dua pendapat dalam hal ini:

1. Pendapat yang Menyatakan Bekam Adalah Mubah

Kami akan nukilkan pendapat syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, syaikh Abdul Muhsin Al-Badr haidzahullah, syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi hafidzahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak hafidzahullah

2. Pendapat yang Menyatakan Sunnah Jika Dibutuhkan (Jika Sakit)

Kami nukilkan fatwa syabakah Islamiyah dan syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini hafidzahullah

Perlu diperhatikan, walaupun hukumnya mubah maka sanggup berpahala. berpahala alasannya yaitu kita cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya mendengar hadits ia berbekam, kita juga berbekam.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad, ia mengetahui ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallami pernah berbekam dan membayar upah satu dinar. Maka beliaupun melaksanakan hal yang sama

Berikut rincian penjelasannya:

Pendapat yang Menyatakan Bekam Adalah Mubah

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

إن الحجامة داوء لا سنة
“Hijamah (bekam) yaitu pengobatan, bukan sunnah”

Dalam kesempatan lain ia berkata,

فأكل العسل مثلاً حث عليه الشارع الحكيم حين قال فيه شفاء للناس والرسول صلى الله عليه وسلم أيضاً كان يحب العسل ولكن هل نتقرب الى الله بشرب العسل ! لا طبعاً

فالذي يقول أن الحجامة سنه (عبادة ) نسأله هل كان الرسول صلى الله عليه وسلم يتقرب إلى الله عز وجل بالحجامة وما الدليل من قوله صلى الله عليه وسلم

“Meminum madu –misalnya- syariat menganjurkan diminum alasannya yaitu ada firman Allah “sebagai penyembuh bagi manusia” dan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai madu akan tetapi apakah kita ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan meminum madu? Tentu tidak.

Demikian juga bagi yang menyampaikan bahwa bekam yaitu sunnah (ibadah), kita tanyakan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan berbekam, apa dalilnya dari perkataan shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Syaikh Abdul Muhsin Al-Badr berkata, mejelaskan

وقد جاء في الحديث ما يتعلق بالعسل والحجامة، وكذلك الكي، وأنه يكون فيها شفاء بإذن الله عز وجل، فهذا فيه إرشاد إلى الحجامة لمن احتاج إليها علاجاً، ولكن لا يقال: إنها سنة وإن الإنسان يحتجم ولو لم يكن بحاجة إلى الحجامة.فهذا علاج وتداوٍ، والتداوي يصار إليه عند الحاجة، ولا يتداوى من غير حاجة، فالذي يحتاج إلى الحجامة يحتجم، والذي لا حاجة له إلى الحجامة فليحمد الله على العافية
“Terdapat hadits yang berkaitan dengan madu dan bekam, demikian juga kay. Padanya terdapat kesembuhan dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Ini yaitu petunjuk untuk berbekam bagi mereka yang menginginkan kesembuhan. Akan tetapi tidak kita katakan bahwa bekam itu sunnah. Karena insan berbekam (untuk kesegaran) walapun tidak membutuhkan bekam (ketika sakit), maka ini termasuk pengobatan.”

Syaikh Muhammad Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata,

الحجامة مباحة, فهي علاج مباح لا يقال إنه سنة وأن الذي لا يتحجم تارك للسنة . . لا. هذا من المباحات والعلاج والأدعية من الأمور المباحات.

“Bekam yaitu masalah mubah. Ia termasuk pengobatan yang mubah. Tidak dikatakan bahwa ia sunnah, sehingga orang yang tidak melaksanakan bekam berarti telah meninggalkan sunnah. Tidak dikatakan demikian. Bekam termasuk masalah mubah. Dan pengobatan termasuk salah satu dari masalah mubah.”

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi hafidzahullah ditanya:

السؤال: ما هي الطريقة الصحيحة التي كان يفعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحجامة؟

Bagaimana metode yang benar yang dilakukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bekam

:


Beliau hafidzahullah menjawab:

الجواب: الحجامة دواء، كان النبي يستعملها للعلاج، كان يحتجم في رأسه عليه الصلاة والسلام، وهذه تختلف ولا يقتدى بالنبي فيها؛ لأن هذا من باب العلاج، فالإنسان يذهب إلى أهل الخبرة، ولا يحتكم إلا عند الحاكم؛ لأنه قد تضر الحجامة، وإذا كان محتاجاً إلى الحجامة يحتجم سواءً في الرأس أو في غيره، وهذا ليس من التشريع حتى يقتدى بالنبي صلى الله عليه وسلم، احتجم عليه الصلاة والسلام من باب العلاج وليس من باب التشريع، فكيف تسأل عن هذا وتريد أن تقتدي به في الحجامة؟ لا؛ لأن الأحوال تختلف، إذا كنت محتاجاً إلى الحجامة، وقال أهل الخبرة: إنك محتاج إلى أن تحتجم، سواءً في الرأس أو في الظهر، أو في الفخذ أو في أي مكان فعلى حسب ما يقوله أهل الخبرة.

Bekam yaitu pengobatan. Nabi dulu melaksanakan bekam untuk pengobatan, ia shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan bekam pada kepala beliau. Maka masalah bekam ini berbeda-beda dan tidak disyariatkan meneladani Nabi dalam masalah ini, alasannya yaitu bekam masuk dalam pengobatan.

Hendaknya seseorang tiba kepada mahir bekam, dan jangan meminta aturan kecuali kepada ahlinya, alasannya yaitu boleh jadi bekam malah membahayakan. Jika dia memerlukan untuk bekam maka sanggup bekam, baik pada kepala atau bab badan lainnya.

Maka bekam bukanlah masalah yang disyariatkan, sehingga dianjurkan untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Beliau melaksanakan bekam dalam rangka pengobatan, bukan dalam rangka mensyariatkan.

Maka bagaimana Engkau bertanya wacana masalah ini dan Engkau ingin meneladani Nabi dalam persoalan bekam ? Tidak, keadaan seseorang itu berbeda-beda.

Jika Engkau membutuhkan bekam dan mahir bekam berkata: Engkau butuh melaksanakan bekam, (maka boleh bekam) Sama saja di kepala, punggung, paha atau tempat lainnya sesuai dengan yang dikatakan orang yang sudah berpengalaman.

Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak,

السائل يقول: الحجامة هل هي سنة؟
Apakah bekam itu termasuk sunnah?

Jawaban:

Bekam yaitu salah satu metode pengobatan, terapi penyakit sehingga dia tergolong masalah etika kebiasaan, bukan masalah ibadah.

Perkara yang bukan ibadah yang Nabi lakukan itu memperlihatkan bolehnya hal tersebut. Sehingga kesimpulannya, bekam itu hanya kita nilai hanya sebagai masalah mubah.

Pendapat yang Menyatakan Sunnah Jika Dibutuhkan (Jika Sakit)

Dalam fatwa syabakah Islamiyah,

وقد نص الفقهاء على أن الحجامة سنة مستحبة لمن احتاج إليها، ففي الشرح الصغير: وتجوز الحجامة بمعنى تستحب عند الحاجة اليها وقد تجب.

“Ulama menegaskan bahwa bekam yaitu sunnah yang dianjurkan dikala ada kebutuhan padanya (misalnya sakit). Maka boleh berbekam, maknanya dianjurkan dikala ada kebutuhan, bahkan sanggup terkadang wajib”

Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini ditanya,

السؤال: ما الدليل على أن الحجامة سنة وليست عادة؟

“Apa dalil bahwa bekam yaitu sunnah bukan masalah etika (kebiasaan)?

Beliau menjawab:

الإجابة: الدليل على سنية الحجامة حضُّ النبي صلى الله عليه وسلم على تعاطيها في أحاديث كثيرة منها: “إن كان في أدويتكم شفاء ففي شرطة محجم، أو شربة عسل، أو لذعة نار وأنهى أمتي عن الكي”. وأيضاً الأحاديث التي وقَّت رسول الله صلى الله عليه وسلم للمسلم أن يحتجم فيها، مع أحاديث أخرى كثيرة فكل ذلك يدل على السنية

“Dalil akan sunnahnya berbekam yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan pelaksanannya dalam beberapa hadits: “Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan, maka kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, dan sengatan api panas (terapi dengan menempelkan besi panas di tempat yang luka) dan saya melarang ummatku melaksanakan kay.

Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih waktu untuk berbekam. Dengan banyaknya hadits yang lain, maka ini memperlihatkan sunnahnya berbekam.”

Perkara Mubah Bisa Menjadi Ibadah

Terlepas dari ikhtilaf ulama menghukumi, apakah mubah atau sunnah. Maka seandainya kita ambil mubah, maka ia sanggup menjadi bernilai pahala alasannya yaitu masalah mubah sanggup menjadi pahala sesuai dengan niat atau ia menjadi wasilah untuk ketaatan.

Misalnya berbekam biar sembuh sehingga sanggup melaksanakan perintah Allah baik hal yang sunnah atau wajib. Sebagaimana tidur yang hukumnya mubah tetapi sanggup berpahala.

Mu’aadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي.

“Adapun aku, maka saya tidur dan sholat malam, dan saya berharap pahala dari tidurku sebagaimana pahala yang saya harapkan dari sholat malamku”

Ataupun sanggup menjadi berpahala alasannya yaitu kita cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya mendengar hadits ia berbekam, kita juga berbekam.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad, ia mengetahui ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallami pernah berbekam dan membayar upah satu dinar. Maka beliaupun melaksanakan hal yang sama.

Beliau berkata, “Tidaklah saya menulis suatu hadits melainkan saya telah mengamalkannya, sehingga suatu dikala saya mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan hijamah (bekam) dan memeberikan upah kepada mahir bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka saya melaksanakan hijamah dan memperlihatkan kepada mahir bekam satu dinar pula”

Demikian yang sanggup kami bahas, semoga bermanfaat.