Sederet Persoalan Dan Keluhan Penumpang Terhadap Lion Air Kurun Waktu 2 Windu Terakhir


Pesawat lion air (suber via tirto.id)

Lion Air terlibat dalam 34 kejadian semenjak 2002 hingga 2018. Beberapa di antaranya hingga ke meja pengadilan.

Lion Air ibarat tak pernah berguru meski penumpang kerap mengeluh. Sampai-sampai menciptakan mereka kapok tak mau lagi naik kembali.

Jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di perairan Tanjungbungin, Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10/2018) pagi mengingatkan kita pada satu hal: Lion Air kerap menerima keluhan dari penumpangnya, dan ini bukan sekali dua kali.

Maskapai singa terbang itu terlibat dalam 34 kejadian semenjak 2002 hingga 2018, demikian lansir Tirto. Insiden pertama yang kami catat terjadi pada 14 Januari 2002. Ketika itu Lion Air Boeing 737-200 dengan nomor penerbangan 386 PK-LID rute Jakarta-Pekanbaru-Batam, gagal mengudara dan terperosok lebih dari lima meter sesaat sehabis take-off di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau. Akibatnya, tujuh orang penumpang mengalami luka, baik berat dan ringan.

Setelah itu, Lion Air terus menerus bermasalah. Dari mulai tergelincir ketika mendarat, pecah ban, bersenggolan dengan pesawat lain, pendaratan darurat, jatuh di perairan ketika hendak mendarat, hingga jatuh ketika mengudara. 

Salah satu orang yang pernah punya dilema dengan Lion Air ialah Ivan Hermawan. Dan pengalamannya cukup buruk.

Ivan masih ingat betul apa yang terjadi pada 19 Oktober lalu. Saat itu, ia pertama kalinya memakai maskapai Lion Air untuk pergi dari Jakarta ke Bali. Ivan pergi memakai pesawat dengan nomor penerbangan JT-036.

Ivan, bersama ratusan penumpang lain, naik pesawat pukul 12.05. Tak ada yang gila hingga sini. Semua telah sesuai jadwal. Namun pesawat tak kunjung mengudara hingga pukul 13.00, padahal di tiket tertera pukul 12.35.

"Lalu AC mati, dan kapten mengumumkan dalam Bahasa Inggris yang pada dasarnya 'pesawat mengalami dilema teknis pada mesin nomor dua, sehingga tidak mau di-start. Sekarang kami akan kembali ke posisi parkir'," kata Ivan kepada reporter Tirto, Selasa (30/10/2018) siang.

"Pengumuman dalam bahasa Inggris, yang kemudian diterjemahkan secara tidak lengkap oleh co-pilot."

Setelah pesawat kembali ke posisi parkir, teknisi dan pegawai bandara masuk ke kabin. Mereka terlihat berdiskusi hingga pukul 14.00.

Setelahnya, pesawat diumumkan layak terbang oleh kapten.

:

Ivan heran. Sebabnya, ketika menunggu pesawat diperbaiki tak ada proposal apa pun dari pihak maskapai untuk penumpang yang sudah di kabin. Mereka tak ditawari untuk turun atau minum selama sekitar satu jam investigasi berlangsung.

"Kami tak satu pun ditawari beverages oleh pramugari selama menunggu di kabin dalam posisi kepanasan. Lalu, pramugari tak sanggup menyebutkan apa hambatan yang mesin yang sebelumnya disebutkan kapten," kata Ivan.

Memang tak ada dilema yang muncul dari pesawat tersebut sehabis mengudara. Ivan selamat hingga tujuan, namun ia mengaku tak mau lagi memakai Lion Air. Dia kecewa, dan itu masuk akal belaka. 

"Saya sudah pasrah semenjak mulai terbang. Orang terbang dengan pesawat yang sudah diklaim dilema mesin hingga harus balik parkir," katanya, ibarat yang dilansir oleh tirto.id

"Itu pertama kalinya saya naik Lion Air, dan ke depannya enggak akan mau lagi, deh."

Tak Dapat Kursi

Pengalaman jelek lain dialami Putu Dika Arlita. Perempuan asal Bali itu mengaku pernah tak menerima kursi ketika hendak terbang dari Jakarta ke kampung halamannya. Peristiwa ini terjadi tiga tahun lalu.

Awalnya Lion Air memberi Dika kursi di akrab pintu darurat, ibarat yang diatur ketika check-in. Masalahnya, ketika hingga ke kabin beliau tak melihat ada kursi sesuai dengan nomor yang tertera pada tiketnya.

Dika terperinci kaget. Sontak ia menghampiri pramugari. Dika menyampaikan kalau pramugari yang ia tanya tak menunjukkan solusi yang jelas.

"Bilang begini pramugarinya 'ibu bangun dulu saja. Nanti kalau ada [kursi] yang kosong ibu duduk di sana'," kata Dika kepada reporter Tirto.

Kejadian serupa menimpa seorang penumpang lain di penerbangan yang sama. Dika dan satu penumpang itu bangun menunggu. Mereka gres menerima kursi di belahan belakang pesawat sehabis semua penumpang duduk.

"Saya sudah komplain. Tapi malah lebih galak staf dari Lion Air-nya. Saya cuma mikir, seandainya enggak ada kursi yang kosong, masa saya berdiri?" 

Setelah terbang dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Dika sempat berniat melayangkan protes ke kantor Lion Air. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya alasannya ialah malas berhadapan dengan maskapai itu.

"Semenjak itu saya enggak pernah naik Lion Air lagi," katanya.

Kerap Digugat

Banyak dongeng serupa yang dialami penumpang lain. Jika Dika malas memperpanjang masalah, beberapa di antara mereka memutuskan berperkara di persidangan. Sejumlah penumpang tercatat pernah menggugat Lion Air alasannya ialah perlakuan diskriminatif, hilangnya bagasi, hingga peniadaan penerbangan sepihak.

Setidaknya ada lima kasus yang dihadapi Lion Air alasannya ialah aduan penumpang semenjak 2007 hingga sekarang.

Pada 2007, seorang penumpang berjulukan David Tobing sempat menuntut ganti rugi ke maskapai itu. David melayangkan tuntutan alasannya ialah pesawat yang dinaikinya kala itu sempat menunda kegiatan penerbangan hingga 90 menit.

Gugatan lain dilayangkan Herlina Sunarti pada 2011. Herlina menggugat Lion Air karena kopernya seberat 12 kilogram hilang dalam penerbangan rute Jakarta-Semarang. Kasus Herlina dengan Lion Air kala itu diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lion Air harus membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta. Banding mereka tak disetujui.

Kasus lain pada tahun yang sama melibatkan penumpang berjulukan Ridwan Sumantri. Ridwan melayangkan somasi alasannya ialah merasa diperlakukan diskriminatif.

Perilaku diskriminatif yang dipersoalkan Ridwan terjadi ketika ia terbang dari Jakarta menuju Denpasar, 11 April 2011. Saat check-in di Bandara Soekarno-Hatta, Ridwan meminta biar ia mendapatkan kursi di belahan depan biar tidak mengganggu penumpang lain karena ia ialah seorang penyandang disabilitas. Namun, ia malah menerima daerah duduk di belahan tengah kabin.

Ridwan juga dipaksa petugas Lion Air untuk menandatangani surat sakit. Dalam surat tersebut tertulis, kalau penyakitnya itu menjadikan penumpang lainnya sakit, maka Ridwan harus menanggung risikonya.

Ada pula kasus Rolas Budiman Sitinjak pada 2012. Ia mengajukan somasi kepada Lion Air alasannya ialah penerbangannya dibatalkan sepihak. Pembatalan dirasa janggal alasannya ialah Rolas sudah memesan tiket sepekan sebelum terbang.

Terakhir, pada 2017 kemudian ada seseorang berjulukan Octa Verius Tamba yang mengajukan somasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Octa merasa dirugikan alasannya ialah Lion Air telah membatalkan keberangkatannya secara sepihak.
Related Posts