Apa Maksud Islam Nusantara Yang Sebenarnya?


islam nusantara via myrepro.wordpress.com

Beberapa bulan ini muncul wacana “Islam Nusantara” di tengah masyarakat. Lantas, apa bahwasanya Islam Nusantara itu? 

Islam Nusantara atau model Islam Indonesia yaitu suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya semenjak kala ke-16.

Adanya Islam Nusantara merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap pedoman dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.

MUI Sumatera Barat menolak konsep Islam Nusantara dengan sederet argumen. Padahal, MUI sentra tidak menolak Islam Nusantara.

MUI Sumatera Barat menegaskan kalau konsep Islam Nusantara hanya akan menciptakan umat Islam semakin terkotak-kotakkan.

Nalarnya,  Islam itu agama. Sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Manusia itu temporal-partikular, terikat ruang waktu dan waktu. Berikut klarifikasi ihwal Islam Nusantara yang kami kutib dari suatu sumber di Internet

3 Sumber Hukum Islam, Cuma 3 Tapi Telah Mencakup Seluruh Kebutuhan Semua Mahluk

Meluruskan Gagal Paham Islam Nusantara

ilustrasi islam nusantara viakanigoro.com

Bagi kalangan tekstual banyak memaknai Islam nusantara sebagai perjuangan pengkotakan wilayah sehingga terjadi sebuah pemisahan dan menyebabkan perpecahan. Tentu ini yaitu pemahaman yang salah.

KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menjabarkan ihwal istilah Islam Nusantara. Menurutnya, kata Nusantara itu akan salah maksud kalau dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan) sehingga berarti, “Islam yang dinusantarakan”. Akan tetapi akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat) sehingga berarti“Islam di Nusantara”.

Kaprikornus Islam Nusantara bukan membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lain dengan struktur dan kultur lainnya, melainkan untuk memperlihatkan Islam yang ada di Nusantara. Konsekuensi dari kita yang berada di Nusantara yaitu penghayatan budaya lokal.

Agama dan budaya memang dua hal yang berbeda, lantaran agama bernilai mutlak, tidak berubah mengikuti waktu dan tempat. Sementara budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, sanggup berubah dari waktu ke waktu dan dari daerah ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yakni agama berdasarkan budaya.

Oleh lantaran itu, agama (wahyu) adalah primer dan budaya yaitu sekunder. Namun, antara yang primer (wahyu) dan sekunder (budaya) saling berkaitan dan tidak sanggup dipisahkan, lantaran wahyu telah turun dalam ruang dan waktu dalam kehidupan insan yang sudah punya budaya. Hal ini berarti sanggup dikatakan pula agama bersifat absolut, berlaku otoriter dan budaya bersifat relatif (subordinat terhadap agama) yang terbatas dalam ruang dan waktu.

Yang menjadi duduk kasus kini ini yaitu banyak orang tak bisa membedakan mana ajaran agama Islam yang bersifat absolut, primer dan mana budaya Arab yang bersifat relatif dan terbatas.

Maka ketidakmampuan membedakan keduanya menjadi sebuah kekacauan dalam berfikir dan memahami Islam. Pada alhasil yang terjadi yaitu anggapan budaya Arab adalah pedoman Islam. Seperti pemakaian gamis laki-laki yaitu pedoman Islam, pakaian cadar adalah Islam. Padahal kalau kita menengok sejarah pakaian menyerupai itu sudah ada semenjak sebelum Islam.

Pakaian gamis bagi laki-laki terang merupakan budaya Arab semenjak dahulu. Demikian juga pakaian cadar pada awalnya yaitu pakaian Yahudi, sehingga DPR Mesir melarang penggunaan niqob alias cadar. Hal ini diperkuat dengan fatwa yang disampaikan Majelis Tarjih Muhammadiyah bahwa tidak ada perintah dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk menggunakan cadar.

Namun tetap adanya budaya menggunakan cadar dan gamis di Arab merupakan tanda bahwa Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam tetap mempertahankan tradisi Arab yang tak bertentangan dengan prinsip Islam dan kemanusiaan. Adapun relasi antara Islam dan budaya Arab menurut Ali Sodiqin memetakan menjadi tiga hal yaitu :

Pertama Tahmil (adoptive-complement)

Sikap apresiatif al-Qur’an yang diberikan terhadap budaya Arab tersebut. Al-Qur’an menerima dan tidak merubah substansinya dan menawarkan pemanis isu mengenai moral dan etika. Yang termasuk dalam kelompok ini yaitu duduk kasus perdagangan dan peghormatan bulan–bulan haram.

Kedua Tahrim (destructive)

Tahrim merupakan penolakan 100% yang dilakukan oleh al-Qur’an terhadap budaya masyarakat yang berkembang. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap tradisi yang di maksud oleh al-Qur’an serta adanya ancaman bagi para pelakunya. Termasuk dalam kategori ini yaitu kebiasaan berjudi, minum khamar, praktik riba, dan perbudakan.

Ketiga Taghyir (adoptive-reconstructive)

Menerima tradisi Arab namun memodifikasi karakternya sehingga sesuai dengan al-Qur’an. Di antara adat-istiadat Arab yang termasuk dalam kategori ini adalah: pakaian dan aurat perempuan, forum perkawinan, anak angkat, aturan waris, dan qishash-diyat.

Dari klasifikasi di atas, sanggup dikatakan yang terpenting yang harus ditekankan adalah nilai moral dan semangat Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, bukan hanya Arab saja. Karena Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Arab namun untuk seluruh alam, maka Islam harus senantiasa bisa mengakomodir setiap perubahan budaya dan tetap relevan disetiap zaman.

Tradisi-tradisi di Indonesia yang sudah mengakar berpengaruh ketika Islam masuk ke Indonesia telah direspon oleh ulama penyebar Islam ke Nusantara dalam tiga kerangka itu yaitu tahmil (mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak bertentangan dengan spirit Islam), tahrim (menghilangkan budaya dan tradisi yang tidak sesuai dengan spirit Islam menyerupai sistem kasta) dan taghyir (merekonstruksi budaya dan tradisi menyerupai sesajen untuk para yang kuasa atau kekuatan ghaib direkonstruksi menjadi simbol-simbol yang bermakna untuk mengesakan Tuhan). Saat Islam telah masuk ke Indonesia dan sudah melewati tiga proses tersebut, maka itulah yang disebut Islam Nusantara.


ilustrasi islam nusantara via padebooks.com

Kemudian yang menjadi yang menjadi catatan sejarah bahwa Islam masuk di Indonesia khususnya pulau Jawa, masyarakatnya memeluk Islam dengan metode tasawuf dan percontohan sikap kesufian. Sehingga Islam di Indonesia bersikap toleran, subtantif inklusif yang ramah dan yang tak kalah penting mengakomodir budaya lokal yang sesuai dengan Islam melalui tiga jalan di atas sehingga tabiat budaya Indonesia tak hilang hanya dimasukkan ruh keislaman yang justru dengan ini Islam di Indonesia bisa menyatu secara penuh dengan masyarakat.

Hal yang berbeda terjadi di Afghanistan dengan gerakan Taliban memiliki ciri legal langsung yang berusaha menerapkan Islam dengan agresi gerakannya yang sangat puritan, fanatik, dan radikal. Faham menyerupai ini memandang dunia dengan beling mata hitam putih (halal-haram) sehingga apa yang ada didalam benak mereka kalau ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya akan bersikap eksklusif tanpa kompromi.

Tentu ini sangat berbeda dengan budaya Indonesia, kalau menghadapi perbedaan tidak langsung mengambil tindakan namun berusaha mengingatkan terlebih dahulu. Tentu kita tidak menghendaki budaya toleran Indonesia luntur lantaran banyaknya pemikiran dari luar yang masuk. Maka guna menangkal hal itu Islam Nusantara yaitu solusi tepat.

Tak hanya itu, Islam Nusantara juga menjadi solusi bagi fundamentalisme dan terorisme, lantaran dengan Islam Nusantara yang religius, nasionalis, cinta budaya akan menjadi antitesis bagi faham ekstrimis. Dengan memahami Islam Nusantara orang Indonesia akan yakin mereka bisa menjadi 100% muslim dan 100% NKRI.

Macam-macam Hukum Islam dan Betapa Sempurnanya Hidup Kita, Jika Mentaatinya

Nah, itulah klarifikasi ihwal Islam Nusantrara yang kami kutip dari suatu sumber. Apapun yang muncul dari kehidupan masyarakat, baiknya kita selektif dan tidak tergesa. Semoga klarifikasi di atas bisa dipahami dan menambah wawasan bagi kita semua.