Jika Patung Haram, Bagaimana Dengan Boneka Mainan Anak-Anak?


Gambar boneka dilansir dari alfiantoys.com

Sebagaiman kita ketahui, menciptakan gambar, lukisan atau patung yang ibarat makluk ciptaan Allah hukumnya ialah haram dalam islam.

Lantas bagaiman dengan boneka untuk mainan anak-anak, apakah juga haram?

Begini dalilnya!

Sebelumnya, kita bahas dahulu wacana aturan menciptakan benda ibarat dengan ciptaan Allah.

Menurut jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambali beropini akan haramnya menciptakan shuroh, baik itu gambar tiga dimensi (yaitu patung), begitu pula gambar selain itu. Bahkan Imam Nawawi katakan bahwa haramnya hal ini ialah ijma’ (kata setuju ulama).

Namum klaim ijma’ tersebut tidaklah tepat alasannya ialah ulama Malikiyah menyelisihi dalam hal ini. Pendapat secara umum dikuasai ulama inilah yang lebih tepat menurut dalil-dalil larangan menciptakan sesuatu yang serupa dengan ciptaan Allah.

Dalil-dalil larangan yang dimaksud ialah sebagai berikut.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِى عَلَى سَهْوَةٍ لِى فِيهَا تَمَاثِيلُ ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – هَتَكَهُ وَقَالَ « أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ » . قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba dari suatu safar dan saya dikala itu menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok kemudian di kain tersebut terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat hal itu, dia merobeknya dan bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari simpulan zaman ialah mereka yang menciptakan sesuatu yang menandingi ciptaan Allah.” ‘Aisyah mengatakan, “Akhirnya kami menyebabkan kain tersebut menjadi satu atau dua bantal.”  (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107).

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ ، فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).” (HR. Bukhari no. 2105 dan Muslim no. 2107)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Sesungguhnya orang yang peling berat siksanya di sisi Allah pada hari simpulan zaman ialah al mushowwirun (pembuat gambar).” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109).

Mengenai aturan menciptakan bentuk tiga dimensi (patung), secara umum dikuasai ulama -selain Malikiyah- mengharamkannya alasannya ialah berdalil dengan dalil-dalil di atas, mirip dilansir dari rumaysho.com.

Lantas bagaiman dengan mainan belum dewasa atau boneka?

Kebanyakan ulama dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali beropini bahwa diharamkan menciptakan gambar dan patung kecuali untuk boneka (mainan anak-anak).

Al Qodhi ‘Iyadh menukil akan kebolehan tersebut dan ia katakan bahwa ini ialah pendapat secara umum dikuasai ulama.

Begitu pula Imam Nawawi mengikuti pendapat ini dalam Syarh Muslim. Beliau rahimahullah berkata bahwa dikecualikan dari larangan gambar atau patung yaitu jikalau dimaksudkan untuk boneka belum dewasa alasannya ialah ada dalil yang memperlihatkan dispensasi hal ini.

Kebolehan di sini terserah mainan tersebut dalam bentuk insan atau hewan, baik berbentuk tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada wujud aslinya mirip kuda yang mempunyai sayap.

Namun ulama Hambali menawarkan syarat kebolehannya jikalau tidak ada kepala atau anggota badannya tidak tepat sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan ulama lainnya tidak mempersyaratkan mirip itu.

Jumhur  secara umum dikuasai ulama berdalil dengan pengecualian di atas menurut hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى

Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku mempunyai beberapa sobat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu dia menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan,

Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini ialah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang menciptakan tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi ‘Iyadh dan dia katakan bahwa inilah pendapat secara umum dikuasai ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).

Sedangkan Ibnu Hajar beropini bahwa kebolehan bermain dengan boneka mirip ini telah mansukh (dihapus). Namun hadits ‘Aisyah lainnya memperlihatkan bahwa klaim mansukh tersebut tidaklah tepat.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ». قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ». قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap sampai mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau kemudian bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu dia juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang saya lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bab atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau kemudian tertawa sampai saya sanggup melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An Nasai dalam Al Kubro no. 890. Al Hafizh Abu Thohir menyampaikan bahwa sanad hadits ini hasan).

Hadits ini diceritakan sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk. Ini sudah memperlihatkan bahwa hadits ini tidak dimansukh (dihapus) alasannya ialah datangnya belakangan.

:

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa mainan tadi dibolehkan alasannya ialah ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jikalau tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan alasannya ialah ada bahasan sendiri wacana aturan memajang gambar.

Dari klarifikasi di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam rangka mendidik mereka semoga anak perempuan sanggup jadi lebih penyayang.

Namun kondusif dan lebih baik jikalau boneka tersebut tanpa wujud yang sempurna, tanpa kepala atau wajahnya dihilangkan.

Demikian, Wallahu a’lam.