Khusus Suami Istri, Mendesah Dikala Berafiliasi Bagaimana Hukumnya?


Gambar ilustrasi dilansir dari ummi-online.com

Meski terasa tabu untuk dibicarakan, namun ummat muslim wajib tahu hukumnya.

Hal ini dilakukan biar kita tidak terjebak dengan dosa yang tak diketahui alasannya malas ataupun enggan mengetahui aturan islam, termasuk korelasi suami istri.

Lantas, bagaimana aturan mendesah atau bersuara pada dikala bekerjasama suami-istri? Berikut penjelasannya lengkapnya!

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul seputar fikih ialah bolehkah bersuara atau berbicara pada dikala bekerjasama suami-istri?

Dalam fikih ahlus sunnah, diperbolehkan bagi suami istri bersuara atau berbicara dikala berjimak. Asalkan bunyi atau kata-kata mereka tidak terdengar oleh orang lain.

Imam As-Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur mencantumkan riwayat bahwa sobat Nabi dan penulis wahyu, Muawiyah bin Abu Sufyan, pernah menjimak istrinya. Tiba-tiba sang istri mengeluarkan desahan dan rintihan yang penuh gairah hingga ia sendiri malu pada suaminya.

Namun Muawiyah justru meluruskannya, " Tidak masalah. Demi Allah, yang paling menarik dari kalian ialah desahan napas dan rintihan kalian."

Ibnu Abbas juga pernah ditanya wacana aturan desahan dan rintihan dikala jimak menyerupai ini. Ulama-nya para sobat ini menjawab, " Jika kalian berjimak dengan istri, lakukanlah sesuka kalian."

Demikianlah pandangan ahlus sunnah wacana bersuara atau berbicara dikala berhubungan. Kalaupun ada di kalangan ahlus sunnah yang menganjurkan biar tidak bersuara, hal itu hanya sekedar anjuran.

Namun pendapat yang berpengaruh ialah yang membolehkan. Sebab generasi sobat Nabi biasa dengan hal semacam ini dan menyerupai kata Muawiyah, desahan dan bunyi istri menciptakan suami lebih tertarik dan korelasi semakin mesra.

Aturan dalam Hubungan Suami-Istri Dalam Islam

Ada beberapa adat yang telah diajarkan oleh Islam ketika suami istri ingin menyalurkan hasrat berjima'.

Berikut adab-adab dikala jima’, bercinta atau bekerjasama intim di ranjang mana yang boleh dan mana yang haram, menyerupai dilansir dari rumaysho.com.

1- Ikhlaskan niat untuk cari pahala

Yaitu bercinta tersebut diniatkan untuk menjaga diri dari zina (selingkuh), menghasilkan keturunan, dan mengharap pahala sebagai bentuk sedekah.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

Dalam korelasi intim suami-istri (antara kalian) itu termasuk sedekah.”

Para sobat menanggapi, “Kenapa hingga korelasi intim saja sanggup bernilai pahala?”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Tahukah engkau jikalau seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jikalau ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim, no. 2376)

2- Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu

Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,

« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا. فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ

Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja alasannya engkau sanggup bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia sanggup bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari, no. 2967; Muslim, no. 715).

3- Membaca doa sebelum korelasi intim

Doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah: Bismillah, allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin bekerjasama intim dengan istrinya, kemudian ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jikalau Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari korelasi intim tersebut, maka setan tidak akan sanggup mencelakakan anak tersebut selamanya.” (HR. Bukhari, no. 6388; Muslim, no. 1434).

4- Menyetubuhi istri dari arah mana pun asalkan bukan di dubur

Allah Ta’ala berfirman,

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Isteri-isterimu ialah (seperti) tanah kawasan kau bercocok tanam, maka datangilah tanah kawasan bercocok-tanammu itu bagaimana saja kau kehendaki.” (QS. Al Baqarah: 223)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang namanya ladang (tempat bercocok tanam) pada perempuan ialah di kemaluannya yaitu kawasan mani bersemai untuk mendapat keturunan. Ini ialah dalil bolehnya menyetubuhi istri di kemaluannya, terserah dari arah depan, belakang atau istri dibalikkan.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 6)

5- Tidak boleh sama sekali menyetubuhi istri di dubur, apa pun keadaannya

Hadits yang mendasari larangan korelasi intim lewat dubur (seks anal) ialah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sobat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا

Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad, 2: 479. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyampaikan bahwa hadits tersebut hasan)

Dalam hadits lainya disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

Barangsiapa yang menyetubuhi perempuan haid atau menyetubuhi perempuan di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, no. 135; Ibnu Majah, no. 639; Abu Daud, no. 3904. Al-Hafizh Abu Thahir menyampaikan bahwa hadits ini hasan)

6. Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga sanggup saling melihat satu dan lainnya

Hal ini dibolehkan alasannya tidak ada batasan aurat antara suami istri. Kita sanggup melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ

Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu baskom dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321).

Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bekerjsama ia ditanya wacana aturan seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha wacana hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364).

Sebagai pendukung lagi ialah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6).

Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33)

:

7. Istri hendaklah tidak menolak ketika diajak korelasi intim oleh suaminya

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Namun jikalau istri ada halangan, menyerupai sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini ialah dalil haramnya perempuan enggan mendatangi ranjang jikalau tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur alasannya suami masih sanggup menikmati istri di atas kemaluannya.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7)

8. Jika seseorang tidak sengaja memandang perempuan lain, lantas ia begitu takjub, maka segeralah datangi istrinya

Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bekerjsama dia pernah melihat seorang wanita, kemudian ia mendatangi istrinya Zainab yang dikala itu sedang menyamak kulit miliknya. Lantas dia menyelasaikan hajatnya (dengan berjima’, korelasi intim), kemudian keluar menuju para sahabatnya seraya berkata,

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ

Sesungguhnya perempuan tiba dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seorang di antara kalian melihat seorang perempuan yang menakjubkan (tanpa sengaja), maka hendaknya ia mendatangi (bersetubuh dengan) istrinya, alasannya hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat pada dirinya” (HR. Muslim no. 1403)

Para ulama berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan menyerupai ini sebagai klarifikasi bagi para sobat mengenai apa yang mesti mereka lakukan dalam keadaan demikian (yaitu ketika melihat perempuan yang tidak halal, pen).

Beliau mencontohkan dengan perbuatan dan perkataan sekaligus. Hadits ini juga menunjukkan tidak mengapa mengajak istri untuk korelasi intim di siang hari atau waktu lain yang menyibukkan selama pekerjaan yang ada mungkin ditinggalkan. Karena sanggup jadi laki-laki sangat tinggi sekali syahwatnya ketika itu yang sanggup jadi membahayakan badan, hati atau pandangannya jikalau ditunda (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 179).

9. Tidak boleh membuatkan diam-diam korelasi ranjang

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

Sesungguhnya termasuk insan paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari tamat zaman ialah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia sebarkan diam-diam ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437).

Syaikh Abu Malik berkata, “Namun jikalau ada maslahat syar’i sebagaimana yang dilakukan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuatkan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan istrinya, maka tidaklah masalah” (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 189).

10. Jika seseorang tiba dari safar, hendaklah dia mengabarkan istrinya dan jangan tiba sembunyi-sembunyi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

Jika salah seorang dari kalian tiba pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) biar perempuan yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya  atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).

11. Boleh menyetubuhi perempuan dikala menyusui

Dari ‘Aisyah, dari Judaamah binti Wahb, saudara perempuan ‘Ukaasyah, ia berkata bekerjsama ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ

Sungguh, semula saya ingin melarang (kalian) dari perbuatan ghiilah. Lalu saya melihat bangsa Romawi dan Persia dimana mereka melaksanakan ghiilah terhadap bawah umur mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan bawah umur mereka” (HR. Muslim no. 1442).

Ghiilah sanggup bermakna Jima' dengan istri yang sedang menyusui. Ada pula yang mengartikan istri menyusui yang sedang hamil (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10: 16).

Kebolehan berjima' dengan istri yang sedang menyusui tentu saja dengan melihat maslahat dan mudhorot (bahaya) sebagai pertimbangan.

Demikianlah apa yang boleh dan dihentikan dikala bekerjasama suami-istri. Semoga menambah keilmuan kita terhadap hukum-hukum Allah, yang mana dihentikan dan diperbolehkan.

Sehingga kelak kita akan terjaga dari perbuatan yang mendatangkan marah Allah SWT.

Wallahu a’lam bish showwab.
Related Posts