Ayah Yang Tak Pernah Sholat, Tak Boleh Jadi Wali Nikah?


Gambar ilustrasi dilansir dari okezone.

Pak Ustadz...

Benarkah seorang ayah yang tak pernah sholat itu tak diperbolehkan menjadi wali nikah putrinya?

Jika benar, apa dalilnya? Mohon pencerahannya pak ustadz...

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Para ulama selain beberapa tokoh dalam madzhab hanafi, telah setuju bahwa nikah tanpa wali statusnya batal.

Sangat banyak dalil yang menyampaikan hal ini. Diantaranya,

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud 2085, Turmudzi 1101, Ibnu Majah 1881 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

Wanita manapun yang menikah tanpa restu dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Ahmad 24417, Abu Daud 2083, Turmudzi 1102 dan dishahihkan al-Albani).


Diantara syarat sanggup menjadi wali nikah, dia harus muslim. Karena orang kafir dihentikan menjadi wali nikah bagi muslimah.

Al-Buhuti dalam Kasyaful Qana’ menjelaskan beberapa persyaratan wali nikah, diantaranya,

الثّالِث اتفاق دين ، الولي والمولى عليها ، فلا يزوج كافر مسلمة ولا عكسه

Syarat ketiga, kesamaan agama, antara wali dan yang diwalikan. Karena itu, dihentikan orang kafir menikahkan perempuan muslimah, atau sebaliknya. (Kasyaful Qana’, 5:53)

Lantas bagaimana jikalau meninggalkan shalat?

Berikut keterangan Dr. Khalid al-Musyaiqih saat ia ditanya ihwal status seorang ayah yang tidak pernah shalat. Bolehkah jadi wali nikah?

Jawaban  beliau,

إذا كان هذا الأب لا يصلي مطلقاً ويمضي عليه أكثر من أسبوع وهو لا يصلي فالذي يظهر أنه خارج من دائرة الإسلام لقوله صلى الله عليه وسلم : “إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ” رواه مسلم وعن بريده بن الحصيب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ، يقول : “العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر”. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه.

Apabila si ayah tidak pernah shalat sama sekali, telah berlalu lebih dari sepekan dan dia tidak shalat, pendapat yang kuat, orang ini telah keluar dari islam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran yaitu meninggalkan shalat.” (HR. Muslim). Demikian pula hadis dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka yaitu shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).

وحينئذ تسقط ولايته ولا يصح أن يتولى العقد على هذه المرأة لأن من شروط من الولي أن يكون مسلما وقد قال الفقهاء رحمهم الله تعالى: أنه يشترط في الولي الإسلام إذا زوَّج مسلمة ، وقالوا : ” لا ولاية لكافر على مسلمة “.وقال ابن عباس رضي الله عنهما : ” لا نكاح إلا بولي مرشد ” ، وأعظم الرشد وأعلاه دين الإسلام .

Pada keadaan demikian, gugur hak kewalian sang ayah, dan tidak sah untuk menjadi wali ijab kabul bagi perempuan ini. Karena diantara syarat wali nikah, dia harus seorang muslim.

Para ulama mengatakan, bahwa disyaratkan untuk menjadi wali, harus orang islam, apabila dia hendak menikahkan seorang muslimah.

Para ulama mengatakan, ‘Tidak ada hak perwalian untuk orang kafir, terhadap perempuan muslimah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mengatakan,

لا نكاح إلا بولي مرشد

Tidak ada nikah, kecuali dengan wali yang layak.

Dan kelayakan terbesar dan tertinggi yaitu agama Islam.

:


Ketika seorang bapak telah gugur haknya untuk menjadi wali.

Hak perwalian akan jatuh ke setiap pria dari jalur bapak, menyerupai kakek, anak (jika janda), saudara laki-laki, dst.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, kekerabatan status wali nikah ada lima:

1. Bapak dan silsilah keluarga diatasnya, meliputi ayah, kakek dari bapak dan seterusnya ke atas.

2. Anak dan seterusnya ke bawah.

3. Saudara laki-laki.

4. Paman dari pihak bapak.

5. Wala’ (orang yang membebaskan dirinya dari perbudakan atau mantan tuan).

Jika ada beberapa orang yang berasal dari jalur kekerabatan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka didahulukan yang kedudukannya lebih akrab (yaitu bapak). Barulah kemudian beberapa orang yang kedudukannya sama, contohnya antara saudara kandung dengan saudara sebapak, maka didahulukan yang lebih berpengaruh hubungannya, yaitu saudara kandung. (Syarhul Mumthi’, 12: 84)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)