Bahayanya Sebuah Pujian, Bahkan Menyerupai Ini Yang Diungkapkan Imam Al-Ghazali Rahimahullah


Gambar ilustrasi dilansir dari sask.fm

Jangan bahagia dikala di puji, jangan tumbang dikala di caci...

Ungkapan tersebut memang benar adanya, oleh alasannya ialah itu jangan lantas angkuh dikala di puji orang lain.

Karena menyerupai inilah bahayanya berdasarkan Imam Al-Ghazali Rahimahullah!

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Orang yang dipuji hendaknya waspada, jangan hingga dia terjatuh dalam kesombongan, ujub dan bentuk futur lainnya. Seseorang sanggup selamat dari hal-hal buruk tadi, hanya dengan mengetahui hakikat keadaan dirinya.

Hendaklah dia renungkan akan ancaman kalau berada dalam kematian yang jelek. Hendaklah dia waspada akan ancaman riya’ dan terhapusnya amalan. Hendaknya dia kenali diri yang orang yang memuji pun tidak mengenalnya. Kalau saja orang yang memuji itu tahu kejelekan yang ada pada dirinya, tentu dia tak akan memuji. Baiknya, dia tampakkan pula bahwa dia tidak suka pada kebanggaan tersebut,” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 3: 236).

Hal yang sama diungkapkan  Ibnu ‘Ajibah.

Ibnu ‘Ajibah rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau tertipu dengan kebanggaan orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memuji tidaklah mengetahui dirimu sendiri kecuali yang nampak bagi mereka. Sedangkan engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu. Ada ulama yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang begitu girang dengan kebanggaan manusia, syaithon pun akan merasuk dalam hatinya,’“ (Lihat Iqazh Al-Himam Syarh Matn Al-Hikam, Ibnu ‘Ajibah, hlm. 159, Mawqi’ Al-Qaraq, Asy-Syamilah).

Dalam hadits disebutkan bahwa Al-Miqdad pernah menyiramkan watu di wajah seseorang yang memuji Usman bin ‘Affan, lantas Usman bertanya pada Miqdad, kenapa engkau melaksanakan menyerupai itu. Miqdad menjawab bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِى وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ

Jika kalian melihat orang-orang yang doyan memuji maka siramkanlah pasir ke wajahnya,” (HR. Muslim, no. 3002).

Ada ulama yang mempraktikkan hadits ini secara tekstual menyerupai yang dilakukan oleh Al-Miqdad. Ada juga ulama yang memaknakan, celalah orang yang memuji tersebut. Ulama lain menyatakan bahwa maksudnya ialah kita berasal dari tanah, maka bersikap tawadhu’lah (rendah hati) dan jangan hingga ujub. Namun Imam Nawawi melemahkan penafsiran terakhir ini, (Lihat Syarh Shahih Muslim, 18: 107).

:

Lantas kalau menerima pujian, apa yang harus kita lakukan?

Dilansir dari rumaysho.com, para Ulama mengatakan, kalau ada yang memujimu bacalah doa menyerupai berikut.

Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

"Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun".

(Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan saya lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah saya terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka).

Demikian, Wallahu A'lam.