Begitu Banyak Perowi Hadits, Lantas Bagaimana Kita Tahu Suatu Hadist Shahih Atau Tidak?

Hadits via slideshare.net

Jika ada yang bertanya apa hadits shahih

Secara singkat, hadits shahih ialah hadits yang benar, dan sanggup dipercaya. Nah, selama 23 tahun Nabi Muhammad mengemban misi menebar Islam, sangat aneka macam perkataan dia yang dicatat dibukukan dinamakan hadist.

Karena tidak cuma satu orang yang mendengar, maka sanggup saja salah persepsi. Karena itu dibedakanlah hadist yang benar dan hadits yang tidak sanggup dipercaya kebenarannya.

Yang dimaksud hadits shahih ialah hadits yang sehat dan benar. Pengertian hadits shahih berdasarkan bahasa berarti sah, benar, sempurna, sehat (tiada celanya), pasti. Defisi hadis shahih secara konkrit gres muncul sehabis Imam Syafi'i memperlihatkan klarifikasi perihal riwayat yang sanggup dijadikan hujah.

Lalu apakah hadits shahih itu? kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيم=  orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih ialah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة

hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) tepat dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).

Imam As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.

Selain itu, ada para perawi hadist shahih yang sangat terkenal, siapa saja perawi hadits shahih? Berikut merupakan nama-nama perawi hadits shahih.

Periwayat Hadits.

Periwayat Hadits yang diterima oleh sunni.

1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H).
2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H).
3. Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H).
4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H).
5. Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i (215-303 H).
6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
7. Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal.
8. Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik.
9. Sunan Darimi, Ad-Darimi.

Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi’ah.
Muslim Syi’ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi’ah tidak memakai hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang berdasarkan kaum Syi’ah diklaim memusuhi Ali, ibarat Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.

Ada beberapa sekte dalam Syi’ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
* Ushul al-Kafi.
* Al-Istibshar.
* Al-Tahdzib.
* Man La Yahduruhu al-Faqih.
* Syi’ah juga mendapatkan sebagian hadis hadis sunni.


Periwayat hadits via salafytobat.wordpress.com

Lalu apakah hadits mutawatir sudah niscaya shahih dan bisakah hadits hasan menjadi shahih? Jika ingin mengetahui jawabannya simak penjelasannya dibawah ini.

Untuk balasan yang pertama tentu saja iya. Bahkan lebih shahih daripada hadits yang kita kenal dengan sebutan hadits shahih. Karena hadits mutawatir sudah tidak dimungkinkan rawinya untuk berbohong.

Ilmu yang dihasilkan dari hadits mutawatir ialah ilmu yakin, atau sering disebut ilmu dharuriy. Ilmu dharuriy oleh Ibnu Hajar didefinisikan sebagai ilmu yang tidak sanggup ditolak oleh semua orang [Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Nuzhat an-Nadzar, hal. 39].

Tetapi jangan keliru dengan menyangka bahwa hadits minggu sebagai kebalikan dari hadits mutawatir itu niscaya tidak shahih. Sebab dikala kita bicara shahih atau tidak sahih, kita bicara perihal kualitas perawi. Sedangkan bila kita bicara perihal mutawatirk kita sedang bicara perihal jumlah perawi. Sedangkan istilah shahih itu semata bicara kualitas perawi.

Untuk balasan pertanyaan kedua ialah Hadits hasan lidzatihi sanggup naik derajatnya menjadi hadits shahih apabila:

kekurang sempurnaan rawi perihal kedhabitannya itu sanggup ditutup, contohnya hadits hasan lidzatihi tersebut memiliki sanad lain yang lebih dhabit, naiklah hadits hasan lidzatihi ini, menjadi hadits shahih lighairihi. Contoh: hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi bersabda

لو لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

“Kalau bukan sebab akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu.

Letak hadits ini masuk pada kategori lighorihi. Menurut Ibnu Sholah memberi alasan  sebab pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan, kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari maka bias dikategorikan shahih lighirihi. Bagaimana cara mengetahui hadits shahih? Inilah caranya.


Hadits shahih via youtube.com

Cara Mengetahui Hadits Shahih

Sebagaimana dijelaskan Mahmud At-Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits, kelima kriteria tersebut ialah sebagai berikut:

Ketersambungan Sanad
Ketersambungan sanad (ittishâlul sanad) berati masing-masing perawi bertemu antara satu sama lain. Salah satu cara yang dipakai untuk menunjukan masing-masing rawi bertemu ialah dengan cara melihat sejarah kehidupan masing-masing perawi, mulai dari biografi guru dan muridnya, tahun lahir dan tahun wafat, hingga rekaman perjalanannya.

Perawi Adil (Kredibilitas)
Setelah mengetahui ketersambungan sanad, langkah berikutnya ialah meneliti satu per satu biografi perawi dan melihat bagaimana komentar ulama hadits terhadap eksklusif mereka. Perlu diketahui, adil (‘adalah) yang dimaksud di sini berkaitan dengan muruah atau nama baik.

Perawi yang semasa hidupnya pernah melaksanakan perbuatan yang melanggar sopan santun dan merusak muruah, hadits yang diriwayatkannya tidak sanggup diterima dan kualitasnya rendah.

Hafalan Perawi Kuat
Selain mengetahui muruah perawi, kualitas hafalannya juga perlu diperhatikan. Kalau hafalannya kuat, kemungkinan besar haditsnya sahih. Tapi bila tidak kuat, ada kemungkinan hadits tersebut hasan, bahkan dhaif.

Tidak Ada Syadz
Syadz berati perawi tsiqah bertentangan dengan rawi lain yang lebih tsiqah darinya. Misalkan, ada dua hadits yang saling bertentangan maknanya. Untuk mencari mana kualitas hadits yang paling kuat, kualitas masing-masing perawi perlu diuji, meskipun secara umum sama-sama tsiqah. Dalam hal ini, perawi yang paling tsiqah dan besar lengan berkuasa hafalannya lebih diprioritaskan.

Dengan demikian, untuk memastikan kesahihan hadits, perlu dikonfirmasi dengan riwayat lain, apakah tidak bertentangan dengan hadits lain atau tidak.

Tidak Ada ‘Illah
Illah yang dimaksud di sini ialah sesuatu yang sanggup merusak kesahihan hadits, namun tidak terlalu kelihatan. Maksudnya, ada hadits yang dilihat sekilas terkesan sahih dan tidak ditemukan cacatnya. Namun sehabis diteliti lebih dalam, ternyata di situ ada sesuatu yang menciptakan kualitas hadits menjadi lemah. Hal ini dalam musthalah hadits diistilahkan dengan ‘illah.

Itulah lima kriteria yang perlu diperhatikan pada dikala menguji apakah sebuah hadits sahih atau tidak. Kalau hilang salah satu dari lima kriteria tersebut, kualitas hadits sanggup jatuh pada kedhaifan.

Misalnya hadits riwayat Al-Bukhari perihal Rasulullah membaca Surat At-Thur dikala magrib. Al-Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطور

Artinya, “Abdullah bin Yusuf meriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair , dari Muhammad bin Jubair bin Math’am, dari bapaknya (Jubair bin Math’am) yang berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah membaca Surat At-Thur dikala magrib,’” (HR Al-Bukhari).

Riwayat di atas dihukumi sahih oleh para ulama hadits sebab memenuhi kriteria hadits sahih. Dilihat dari ketersambungan sanad, masing-masing perawi terbukti bertemu antara satu sama lain; dilihat dari kualitas perawi semuanya dhabit dan ‘adil; serta tidak terdapat syadz dan illat dalam sanad hadits. Wallahu a‘lam. (Hengki Ferdiansyah). Adapun fadhilah dari hadits shahih ini, apa saja fadhilah hadits shahih? Simak penjelasannya dibawah ini.


Keutamaan hadits via ittaqillah.com

Fadhilah Hadits Shahih

Ulama hadits pada masa Imam al-Bukhari (wafat 256 H) dan Imam Muslim (wafat 261 H) maupun setelahnya bersepakat bahwa kumpulan hadits yang dimuat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, yang jamak disebut Shahihain, ialah kitab yang lebih utama dibanding kitab hadits lain. Dua kitab ini dinilai sebagai kitab hadits yang menetapkan syarat-syarat kesahihan hadits yang ketat.

Syarat kesahihan riwayat hadits ialah ketersambungan sanad antarperawinya, kemudian para perawinya ialah eksklusif yang saleh dan terjaga kepribadiannya (‘adalah) lagi besar lengan berkuasa hafalannya (dlabth). Selain itu pada matan-nya (redaksi hadits) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cela (‘illat).

Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim memegang teguh kelima syarat tersebut, dengan kriteria yang lebih ketat. Semisal, Imam al-Bukhari memakai syarat keharusan para perawi benar-benar untuk saling bertemu (tsubutul liqa’) sebagai kriteria ketersambungan sanad dalam Shahih-nya. Sedangkan bagi kalangan ulama hadits lain, adanya kemungkinan para perawi untuk bertemu secara masa dan daerah (imkaniyatul liqa’) dipandang sudah memenuhi syarat ketersambungan sanad.

Begitupun dalam Shahih Muslim, salah satu syarat yang dipertimbangkan ketat ialah bahwa dia memakai hadits-hadits yang disandarkan pada Nabi (marfu’) lebih banyak. Sehingga riwayat dalam kitab Shahih Muslim yang disandarkan pada sobat (mauquf) maupun generasi setelahnya jumlahnya hanya sedikit.

Imam an Nawawi (wafat 676 H) memperlihatkan komentar bahwa dua kitab shahih–yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim–merupakan kitab yang disepakati kesahihan haditsnya oleh ulama andal hadits. Begitu pula Imam Ibnu Shalah (wafat 643 H), menyebutkan dalam karyanya perihal ilmu hadits yang berjudul Muqaddimah Ibnu Shalah bahwa hadits-hadits yang dihimpun oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahihain, merupakan hadits sahih yang derajatnya paling tinggi, atau kerap disebut muttafaq ‘alaih.

Tidak semua hadits yang dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dihimpun dalam dua kitab sahih tersebut. Keduanya juga menyusun kitab hadits lain selain Shahihain. Imam Muslim menyatakan dalam pengantar Shahih Muslim, bahwa, “...tidaklah semua hadits yang saya nilai sahih terhimpun dalam kitab sahih ini. Aku hanya meletakkan hadits-hadits yang telah banyak disebut dan disepakati oleh lebih banyak didominasi ulama.”

Demikian mengapa posisi kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dipandang istimewa di kalangan ulama andal hadits, begitu pula andal fiqih. Melalui syarat-syarat kesahihan yang ketat, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah menghasilkan karya yang istimewa dan selalu dirujuk serta dikaji umat Islam. Wallahu a’lam. Semoga artikel ini bermanfaat.
Related Posts