Jadi Orang Kaya Memang Impian, Namun Bahagiakah Mereka? Terlebih Di Yaumul Hisab?


Kaya gemar memberi via agunkzscreamo.blogspot.com

Mempunyai banyak harta mau apapun bisa, mau beli apapun uang ada, mungkin jadi cita-cita banyak orang.

Namun apakah dengan punya segala materi, hidup akan bahagia? Lihat bagaimana Allah dikala di Yaumul Hisab!

Orang Miskin Masuk Surga 40 Tahun Sebelum Orang Kaya? Benarkah orang islam tidak boleh untuk kaya mengapa? Ternyata agama Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi orang yang kaya. Namun, sebelum itu kita harus mengetahui alasannya terlebih dahulu.

Banyak orang yang ingin menjadi kaya dan bahkan hampir setiap orang ingin menjadi kaya. Namun, kekayaan ibarat apakah yang dimaksud dalam syariat Islam? Jangan hingga saking ingin menjadi orang kaya, hingga menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Justru hal inilah yang sangat tidak boleh dalam Islam.

Apakah orang kaya bisa masuk surga? Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mempunyai harta. Silahkan jadi orang kaya tapi jangan hingga kita termasuk dalam sifat-sifat tercela, jadi meskipun kita menjadi orang kaya kita masih bisa masuk surga. Begini penjelasannya.

Orang Kaya Dalam Islam

Benarkah orang kaya lambat masuk surga? Jangan salah paham dulu, simak penjelasannya dalam islam. Karena orang kaya belum tentu orang yang mempunyai banyak uang atau harta. Lihat definisi kaya berdasarkan islam.

حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِر○أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kau , hingga kau masuk ke dalam kubur.”
(QS. At Takasur : 1-2)

Dilihat dari sudut kacamata ekonomi, orang yang paling kaya mungkin yaitu yang paling banyak uang atau hartanya, walau pun ia tidak beriman dan bertakwa serta walaupun kikirnya luar biasa. Namun kenyataan menerangkan orang yang begelimang harta dan yang mempunyai uang simpanan dalam jumlah fantastis di banyak sekali bank besar, banyak juga yang gelisah, contohnya dicekam perasaan takut mati yang berlebihan. Di sisi lain, bahkan ada hartawan yang berhubungannya dengan pasangan hidupnya tak harmonis, selalu diterpa angin kencang rumah tangga yang tak berakhir. Menurut kacamata tauhid, hartawan ibarat ini pada hakikatnya miskin, walaupun uang dan hartanya tak terhitung jumlahnya.

Tentang kaya dan miskin, berdasarkan Quran dan Sunnah, ada insan yang miskin di dunia dan miskin pula di akhirat. Sebaliknya ada pula yang kaya di dunia juga kaya di akhirat. Ironisnya ada pula yang kaya di dunia, miskin di akhirat. Tentang orang yang miskin di alam abadi Al-Imam At-Tirmidzi di dalam sunannya, (NO. 2342) meriwayatkan bahwa Abu Hurairah RA mengabarkan bahwa Rasulullah SAW pernah pada suatu hari bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut dalam konteks Islam)?” Para sahabat menjawab “Orang yang gulung tikar berdasarkan kami ya Rasulullah, ia orang yang tidak mempunyai dirham (uang) dan (tak punya) harta benda”. Rasulullah SAW berkata:  “Orang yang gulung tikar di kalangan umatku ialah orang yang pada hari simpulan zaman tiba dengan membawa (pahala) shalat, shaum (puasa) dan zakat, tetapi ia tiba dengan membawa (dosa) memaki si A, menuduh si B, memakan harta si C (termasuk memakan uang hasil utang yang di niatkan untuk tidak dibayar), menumpahkan darah si D dan memukul si E, maka diambil kebaikannya kemudian diberikan orang yang di zaliminya. Kalau ternyata kebaikannya sudah habis, sedang dosanya masih ada, maka dosa orang yang di zaliminya itu dipikulkan kepadanya, kemudian karenanya dilemparlah ia ke dalam neraka....”.(HR.Muslim).

Orang yang gulung tikar (muflis) yang dimaksudkan oleh hadis di atas, yaitu seseorang dikala hidup di dunia mungkin saja kaya harta, tetapi di alam abadi menjadi muflis atau miskin. Kalau diharuskan memilih, jauh lebih baik miskin didunia, asal berbahagia di alam abadi dengan masuk surga, dari pada di dunia kaya raya (banyak harta), tetapi di alam abadi menjadi muflis, sehingga menderita lahir batin dengan derita yang mulut dan goresan pena takkan bisa mengungkapkan betapa berat dan dahsyatnya.

Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mendzalimi saudaranya, baik menyangkut kehormatan saudaranya itu atau apasaja, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari saudaranya tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang suatu hari dimana) tidak ada lagi dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang di lakukan pada hari kiamat). Bila ia mempunyai amal saleh, amal tersebuat diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (untuk diberikan kepada rang yang dizaliminya sebagai tebusan/pengganti kedzaliman yang pernah dilakukannya). Namun bila ia tidak mempunyai kebaikan maka diambil dosa-dosa orang yang pernah di dzaliminya, kemudian dipikulkan kepadanya”. (HR,. Bukhari).


Kaya dan miskin via pelarisdagang99.com

Lebih baik miskin di dunia
Berdasarkan hadist di atas, sanggup dikatakan bahwa berdasarkan kacamata Islam, lebih baik miskin di dunia, asal kaya di alam abadi dari pada kaya di dunia, tetapi miskin di akhirat.

Di dalam hadist lain mengatakan, bahwa Rasulullah SAW pernah memohon al-ghinna (kaya) kepada Allah SWT, lafaznya ialah: “Allahumma innii as-aluka hudaa wat-tuqaa wal’afaafa wal ghina”. (Ya Allah, saya meminta pada-Mu petunjuk ketakwaan, dberikan sifat ‘afaaf dan al-ghina). (HR. Muslim).

Kata al-ghina termasuk kata yang muli makna, yang salah satu maknanya ialah kekayaan. Tetapi di dalam hadist dikatakan bahwa yang di katakan oleh ghina ialah ghinan nafs kata jiwa. Nabi SAW bersabda: “Kekayaan bukan sebab banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kaya hati”.

Makna ini sejalan dengan makna hadist yang diriwayatkan Ibn Hiban, Abu Dzar RA berkata: “Rasulullah SAW berkata padaku: “Wahai Abu Dzar menurutmu, apakah banyaknya harta yang dinamakan kekayaan?” “Benar”, jawab Abu Dzar. Nabi bertanya lagi: “Apakah menurutmu sedikitnya harta berarti fakir?” “Betul”, Abu Dzar menjawab dengan serupa. Nabi kemudian bersabda: “Sesungguhnya kekayaan yaitu kayanya hati (hati selalu merasa cukup), sedangkan fakir yaitu fakirnya hati (hati selalu merasa tidak puas)”

Tidak Mengharapkan
Hal itu sejalan pula dengan apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib RA: “Kekayaan  terbesar yaitu tidak mengharapkan apa yang ada di tangan manusia”. Orang yang benar-benar mempertuhankan dan mentauhidkan Allah SWT, hanya mengharapkan apa yang ada pada Allah dan tidak mengharapkan apa yang ada pada manusia. Maka orang yang bertauhid berarti orang kaya.

Tentang makna al-‘afaaf di dalam hadist di atas, An-Nawawi-RHM mengatakan: “Al-afaaf di dalam hadist ini bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak di perbolehkan, sedangkan al-ghina yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang di sisi manusia”. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17 41).

Masih ihwal kaya hati, ulama menyampaikan : Kaya hati yaitu merasa cukup terhadap apa yang engkau butuhkan. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari juga, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), tetapi miskin hati.

Hal ini sejalan dengan ucapan Al-Imam An-Nawawi RHM: “Kaya yang terpuji yaitu kaya hati, yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus menambahnya. Siapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah kekayaan yang sudah ada, ia tentu tidak pernah merasa puas dan ia berarti bukan orang yang kaya hati”.

Namun, bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Sebab Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda: “Tidak apa-apa dengan kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa lebih baik dari kaya. Dan Bahagia itu penggalan dari kenikmatan”.


Orang kaya via seruni.id

Tidak pernah merasa cukup
Kaya harta itu tidak tercela. Yang tercela yaitu tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah SWT berikan. Pada hal Abdullah bin Amir bin Al-‘Ash mengabarkan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sangat beruntung rang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya”. (HR. Muslim No. 1054). Semoga Allah menganugerahi kita akan al-ghina, sehingga hati kita merasa cukup dan bersyukur terhadap apa yang diberikan-Nya.

Di Komunitas tertentu, orang yang paling dihormati terkadang bukan orang yang paling banyak uangnya. Semakin banyak uangnya biasanya akan semakin tinggai penghargaan masyarakat terhadap dirinya walaupun ia bukan seorang hamba gemar memberi yang menawarkan banyak kontribusi terhadap masyarakat lemah yang membutuhkan bantuan.

Padahal insan yang paling mulia di sisi Allah bukan paling banyak hartanya bukan pula yang paling inggi tingkat penddikan formalnya, tetapi yang lebih tinggi tingkat takwanya, sebagaimana firman Allah SWT mengenai orang kaya berdasarkan al quran: “...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kau di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujuraat 49:13).

Tapi sombong dan kikir
Seorang hartawan muslim, hartanya berlimpah ruah, tapi sombog, dan kikir. Kekayaan hartanya tidak pernah dipakai di jalan Allah, sekali pun ia menolong orang selalu mempunyai tujuan yang menguntungkan bagi dirinya. Orang ibarat ini tidaklah lebih mulia dibandingkan dengan orang yang hidupnya sederhana, tapi kepeduliannya terhadap orang miskin dan agamanya sangat tinggi. Orang ibarat ini di hadapan Allah, lebih mulia, sebab di rinya bermanfaat bagi masyarkat banyak, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik insan yaitu yang aling bermanfaat bagi manusia”.

Apa guna kaya raya, kalau keuntungannya terhadap sesama tak ada? Hadis dengan makna yang hampir sama berbungi: “Semua makhluk yaitu jaminan Allah, maka yang paling dicintai Allah diantara mereka yaitu yang paling bermanfaat bagi makhluk-Nya”. (HR. At-Thabrani dan Abu Ya’la).

Di zaman ini, banyak kita temui orang muslim yang kaya akan harta tetapi sangat kikir. Dalam prinsip hidupnya, selalu ingin menerima, tapi sangat berat untuk memberi . Banyak pola yang terjadi di hadapan kita dan itu sudah biasa terjadi dan insan menerimanya sebagai hal yang wajar. Seorang yang ingin mencari kerja di perusahaan-perusahaan, kantor-kantor atau bahkan sebagai pembantu rumah tangga. Mereka harus bisa mengeluarkan biaya yang cukup besar yang disebut pugli (ungutan liar) biar sanggup di terima bekerja.

Atau orang miskin yang tidak bisa berobat, untuk mendapatkan biaya berobat gratis dari pemerintah harus membayar pula untuk mendapatkan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) tersebut yang memang seharusnya menjadi hak mereka.

Bukankah mereka pemungli itu hartanya lebih banyak, tetapi mereka selalu meminta kepada orang miskin. Sungguh orang-orang ibarat ini sangat tidak bermanfaat bagi insan yang lain. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda:  “Sebaik-baik kalian yaitu orang yang dari dirinya sanggup diperlukan kebaikan (seperti infa)”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah RA). “Walau pun kaya, kalau tak berinfaq, tak ada manfaatnya”. (HR. Thabrani).

Tentang orang yang paling kaya, Rasulullah SAW berpesan: “Bersikap ridhalah engkau terhadap apa yang dibagikan Allah untukmu, pasti engkau menjadi orang yang paling kaya...”. Marilah kita menjadi hamba Allah yang paling kaya dengan meningkatkan tauhid dan takwa kita kepada Allah SWT, sehingga kita bisa bersikap ridha terhadap semua ketentuan Allah SWT terhadap diri kita, termasuk rizki yang ttelah ditentukan-Nya untuk kita .


Kaya kepercayaan via economy.okezone.com

Haruskah orang islam kaya? Mencari kekayaan yaitu masalah yang disyariatkan didalam islam. Di dalam Al Qur’an banyak disebutkan ayat-ayat yang menyeru untuk mencari rezeki dan berusaha di atas bumi. Mencari kekayaan bisa menjadi sebuah kewajiban kalau perjuangan insan itu dilakukan untuk mendapatkan penghasilan memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya serta mencukupkannya dari meminta-minta.

Mencari kekayaan bisa menjadi sunnah kalau perjuangan insan mendapatkan penghasilan itu untuk menawarkan pelengkap nafkahnya dan nafkah keluarganya atau dengan tujuan melapangkan orang-orang fakir, menyambung silaturahim, menawarkan jawaban (hadiah) kepada kaum kerabat dan mencari kekayaan dengan niat ibarat ini lebih utama daripada menghabiskan waktunya untuk beribadah.

Mencari kekayaan dibolehkan (mubah) kalau untuk menawarkan pelengkap dari kebutuhan atau dengan tujuan berhias dan menikmati.

Mencari kekayaan menjadi makruh kalau untuk mengumpulkan harta biar bisa berbangga-banggaan, bermegah-megahan, sombong, bersenang-senang hingga melewati batas walaupun dicari dengan cara yang halal, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mencari dunia yang halal untuk bermegah-megahan, berbangga-banggaan dan riya maka ia akan bertemu dengan Allah swt sedangkan Allah marah kepadanya.”

Mencari kekayaan menjadi haram apabila dicari dengan jalan yang haram ibarat riba, suap dan lainnya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 11384 – 11385).

Benarkah orang kaya hisabnya lama? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

(( يدخل فقراء المسلمين الجنة قبل الأغنياء بنصف يوم، وهو خمسمائة عام ))

"Orang-orang miskin dari kalangan kaum muslimin masuk nirwana setengah hari (lebih dahulu) sebelum orang-orang kaya. Dan setengah hari itu 500 tahun lamanya." [Hadits Shahih riwayat Tirmidzi, Lihat kitab Shahîh al-Jâmi' karya al-Albâni]

Beliau juga bersabda,

(( إن فقراء المهاجرين يسبقون الأغنياء يوم القيامة إلى الجنة بأربعين خريفاً )) 

"Sesungguhnya orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin 40 tahun lebih dahulu masuk nirwana daripada orang-orang kaya kelak di hari kiamat." [Hadits Shahih riwayat Muslim].


Kaya hati via yukbelajar.id

Maka orang kaya dikala ia dihisab hartanya, kemudian ternyata ia termasuk orang yang mensyukuri nikmat harta tersebut, mempergunakannya untuk bertaqorrub kepada Allah, yaitu dibelanjakan untuk jalan-jalan kebaikan, ketaatan, shadaqoh, dan sebagainya, maka orang kaya ini mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada orang miskin yang lebih dahulu masuk nirwana yang mana ia tidak mempunyai amalan-amalan kebaikan yang dilakukan oleh orang kaya.

Terlebih orang yang kaya tersebut bisa menyaingi amalan-amalan kebaikan orang miskin, atau bahkan orang kaya tersebut bisa mengerjakan lebih banyak amal kebaikan dari orang miskin. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan orang yang berbuat kebaikan.

Lalu apakah orang kaya selalu bahagia? Tidak semua orang kaya merasa bahagia, ada beberapa orang kaya yang ketakutan, gelisah, merasa kekurangan terus, menumpuk harta yang takut habis tak tahu batasnya hingga kapan. Itu salah satu orang kaya yang tidak bahagia, ketidak bahagiaan mereka sebab kurangnya rasa bersyukur.

Jadi, apapun keadaan kita, bagaimanapun keadaan kita tetaplah bersyukur. Demikian klarifikasi yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita.