Maraknya Penjarahan Di Kota Palu! Ini Hukum Negara Juga Agama


Warga ambil barang Supermarket di Palu. ©BAY ISMOYO / AFP, merdeka.com

Imbas dari gempa besar dan tsunami dikota Palu, penjarahan meraja lela.

Lantas bolehkah mencuri atau menjarah jikalau kondisinya darurat menyerupai di Palu?

Berikut klarifikasi aturan Negara dan juga aturan Agama mengenai hal tersebut!

Kepolisian masih berupaya mengamankan beberapa titik di wilayah Sulawesi Tengah yang terkena dampak gempa dan juga tsunami.

Hal tersebut untuk mencegah terjadinya penjarahan di tengah kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan.

Sejumlah masyarakat yang terdampak musibah tersebut terlihat mengambil materi kuliner yang terdapat di beberapa minimarket. Diduga, mereka terpaksa mengambil dan menjarah toko tersebut lantaran memerlukan persediaan logistik.

Lantas, apakah penjarahan dalam kondisi tragedi diperbolehkan?

Dilansir dari kumparan.com, hebat aturan Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta menjelaskan bahwa dalam aturan pidana ada yang namanya Dasar Penghapus Pidana.

Hal tersebut mengatur mengenai alasan pembenar dan dasar pemaaf seseorang melaksanakan kejahatan namun tidak sanggup dipidana.

Salah satunya diatur dalam Pasal 48 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi, "Barang siapa melaksanakan perbuatan lantaran efek daya paksa, tidak dipidana".

Gandjar menyebut bahwa menurut doktrin, maka daya paksa sebagaimana dimaksud pasal 48 kitab undang-undang hukum pidana terdiri atas keadaan memaksa (overmacht) dan keadaan darurat (noodtoestand). Ia pun menjelaskan bagaimana perbedaan keduanya.

Keadaan memaksa (overmacht) yakni dasar pemaaf yang berarti seorang pelaku sanggup dimaafkan meski perbuatannya melawan hukum. Namun, pelaku tersebut juga harus memenuhi syarat tertentu.

"Kalau keadaan memaksa, perbuatannya tetap melawan hukum, tapi ada faktor pemaaf pada diri pelaku. Misalnya lantaran pelaku orang gila, anak di bawah umur, atau orang dalam keadaan memaksa yang mutlak," kata Gandjar.

Sederhananya, pelaku penjarahan sanggup dimaafkan perbuatannya bila orang tersebut yakni orang gila, masih di bawah umur, serta orang yang tidak sanggup memilih kehendaknya secara bebas mengenai perbuatan apa yang sanggup dilakukannya.

Sementara keadaan darurat (noodtoestand) yakni dasar pembenar, yaitu membenarkan perbuatan pelaku sehingga bukan perbuatan yang melawan hukum.

"Dalam kasus penjarahan itu, sepanjang dilakukan untuk mempertahankan hidup, perbuatannya menjadi perbuatan yang tidak (lagi) melawan aturan lantaran ia harus mempertahankan hidupnya. Ada pilihan situasi antara harus mencuri demi bertahan hidup atau membisu saja tidak mencuri dengan resiko mati (kelaparan)," papar Gandjar.

Namun, Gandjar menyebut ada syarat supaya dasar pembenar sanggup berlaku.

"Ada syarat proporsional dan subsidiaritas. Proporsional artinya tindakan (mencuri) itu sebanding dengan kebutuhannya untuk bertahan hidup. Subsidiaritas berarti bahwa tidak ada tindakan lain yang sanggup dilakukan selain mencuri," kata dia.

Bagaimana dengan aturan islam?

Meski diperbolehkan tentu ada syarat dan dan batasannya.

Dalam timbangan fiqih Islam, ada kaidah yang sangat masyhur wacana dibolehkannya mengkonsumsi atau mengambil barang haram ketika kondisi darurat. Yaitu:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”

Kaidah ini mempunyai landasan dari Al-Qur'an dan Sunnah shahihah. Di antaranya:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Saat seseorang dalam kondisi darurat lantaran alasannya kelaparan dan tidak ada kuliner lain kecuali kuliner haram. Ia tidak lagi mendapat kuliner halal dan benar-benar dalam kondisi kelaparan.

Saat mengambil dan mengonsumsi kuliner tersebut sekadar kebutuhan pokoknya untuk menghilangkan rasa laparnya. Maka mengambil dan mengonsumsi kuliner haram dalam kondisi ini tidak dihitung dosa.

Saat kondisi demikian genting yang mengancam keselamatan jiwanya maka ia diperintahkan mengonsumsi kuliner haram untuk bertahan hidup. Ia dihentikan membiarkan dirinya binasa dan membiarkan dirinya mati. Saat itu ia wajib makan. Bahkan ia berdosa jikalau tidak makan sehingga meninggal karenanya.

Syaikh Al-Sa’di menyebut orang yang demikian,

فيكون قاتلاً لنفسه

Maka ia telah membunuh dirinya sendiri”.

Syaikh al-Sa’di menutup klarifikasi tafsir ayat ini dengan mengatakan,

وفي هذه الآية دليل على القاعدة المشهورة : " الضرورات تبيح المحظورات " ، فكل محظور اضطر إليه الإنسان : فقد أباحه له الملك الرحمن ، فله الحمد والشكر ، أولاً وآخراً ، وظاهراً وباطناً

Dan dalam ayat ini ada dalil atas kaidah yang terkenal, “Al-Dharuraat Tubiih al-Mahdzuuraat” (Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang). Maka setiap yang dihentikan yang sangat diharapkan orang maka Allah yg Maha penguasa dan pengasih membolehkan untuk ia konsumsi. Maka kebanggaan dan syukur kepunyaan Allah di awal dan akhir, dzahir dan batin.” (Tafsir Al-Sa’di: 81)

Bolehnya mengambil yang haram ketika kondisi darurat harus memenuhi beberapa syarat:
  • Benar-benar adanya ancaman yang mengancam keselamatan diri.
  • Tidak ada solusi untuk menghilangkan ancaman itu kecuali dengan mengambil yang haram.
  • Diyakini bahwa melaksanakan keharaman itu benar-benar akan menghilangkan bahaya.
  • Bahaya yang dihilangkan tidak menjadikan ancaman yang semisalnya atau lebih besar.
  • Mengambil yang haram sekadar untuk menghilangkan ancaman yang sedang mengancam. Bukan dengan berlebihan kelewat kenyang dan memborongnya ke rumah.

:

Bagaimana dengan Penjarahan ATM sampai Toko Elektronik?

Selain penjarahan materi makanan, polisi menermukan pula ada penjarahan terhadap barang-barang yang bukan kebutuhan pokok, menyerupai ATM sampai toko elektronik.

Bahkan, Kadiv Humas Polisi Republik Indonesia Irjen Setyo Wasisto menyebut ada pula yang mencuri ban dalam.

Terkait hal tersebut, Gandjar sudah menjelaskan bahwa keadaan darurat tersebut hanya terbatas pada unsur pemenuhan kebutuhan untuk mempertahankan hidup.

Ketika, penjarahan lalu juga dengan mengambil barang-barang di luar kebutuhan mempertahankan hidup, maka dasar pembenar tersebut tidak berlaku.

Dan pelaku harus mendapat ganjaran yang setimpal. Baik secara aturan negara maupun dosa yang ia perbuat lantaran melanggar ketentuan Agama.

Artinya, Negara sudah dan juga Agama telah mengatur wacana dilema tersebut.

Namun, bukan menjadi pembenaran mencuri bahkan menjarah barang orang lain jikalau dalam kondidi tak terpaksa.

Apalagi mencuri lantaran niat kriminal, menyerupai barang elektronik dan lain sebagainya.

Musibah itu tiba supaya kita merenungkan segala dosa yang telah kita perbuat, bukan malah menambah dosa dengan mengambil barang yang haram.

Demikian, semoga gosip ini bermanfaat.