Tak Semua Gibah Itu Terlarang, Inilah 6 Keadaan Yang Dibolehkan Menyebutkan Malu Orang Lain
Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain (gambar dilansir dari pentasatriya.wordpress.com)
Masih banyak yang salah faham... Memberikan nasehat malah dikatakan sebagai gibah.
Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah dan dosanyapun sangatlah besar.
Namun, Islam memperbolehkan enam keadaan untuk menyebutkan ‘aib orang lain jika ada tujuan yang syar’i sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah! Berikut ulasannya...
Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, alasannya yaitu sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kau yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kau merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung instruksi bahwa kehormatan insan itu sebagaimana dagingnya. Jika daging insan saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya tidak boleh untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan biar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah yaitu perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melaksanakan ghibah.”
Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُDari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sobat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah yaitu kau membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah berdasarkan engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kau bicarakan itu wacana dirinya, maka berarti kau telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kau bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kau telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman.
Namun untuk ghibah dibolehkan jikalau ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah.Dilansir dari muslim.or.id, enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain yaitu sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang.
Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2- Meminta tolong biar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk menciptakan orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar.
Semisal meminta pada orang yang bisa menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melaksanakan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami biar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta pemikiran pada seorang mufti ibarat seorang bertanya mufti.
Contoh: “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya saya lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan, ibarat mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadits.
5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada duduk perkara lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya ibarat menyebutnya si buta.
Namun jikalau ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jikalau ada maslahat dan ada kebutuhan.
Seperti mengingatkan kaum muslim terhadap sebuah keburukan tanggapan perbuatan sesorang dan lain sebagainya.
Namun yang diingatkan yaitu yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.