Kejanggalan-Kejanggalan Lion Air Jt 610 Sebelum Kecelakaan, Knkt Harus Usut Ini


Foto yang diduga ilik penumpang lion air JT 610 (sumber via tirto.id)

Banyak yang bertanya apa penyebab pesawat Lion Air ini jatuh sehingga akibatkan korban jiwa yang begitu banyak.

Melihat sebelumnya, kejanggalan-kejanggalan pada manufaktur Lion Air sudah diketahui. Hal ini yang mungkin dianggap sebagai celah terjadinya kecelakaan kemarin.

Riset dan analisis kami, dengan mengkroscek keterangan dari sejumlah narasumber yang paham kasus penerbangan, menjelaskan pesawat Lion Air JT 610 memang bermasalah sebelum digunakan mengangkut penumpang dari Cengkareng ke Pangkal Pinang.

Pesawat dengan nomor pendaftaran PK-LQP ini menghadapi hambatan atau kami menyebutnya "kejanggalan" terutama dikala terbang dari Denpasar ke Jakarta pada malam hari 28 Oktober 2018. Artinya, jika saja administrasi Lion Air mau kritis dan terbuka terhadap histori penerbangan pada pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 ini, terbuka kemungkinan insiden nahas pada Senin pagi, 29 Oktober, sanggup dihindari.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mulai menyelidiki informasi soal kondisi penerbangan pesawat yang gres berumur 2,4 bulan ini terutama dari Bandara Ngurah Rai ke Bandara Soekarno-Hatta. Meski begitu, berdasarkan investigator KNKT Ony Suryo Wibowo, "datanya dengan sangat menyesal belum sanggup disampaikan lantaran harus kami verifikasi. Kami juga harus hati-hati." 

Sebelum Jatuh: Selama Tiga hari Selalu Terlambat

Jadwal keberangkatan (scheduled time of departure) belum tentu sesuai waktu keberangkatan (actual time of departure). Semua tergantung faktor cuaca, kepadatan kemudian lintas udara, maupun kondisi pesawat.

Tiga hari sebelum jatuh atau semenjak hari Jumat, pesawat PK-LQP selalu delay dalam enam penerbangan secara berturut-turut. Padahal, seminggu sebelumnya, proses lepas landas selalu sesuai jadwal; bila pun terlambat tak kurang dari 45 menit.

Delay pertama dikala PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-776 rute Denpasar-Manado pada Jumat, 26 Oktober. Pesawat mestinya terbang pukul 09.55 malah molor nyaris 4 jam dan gres terbang menuju Manado pukul 13.35.

Setelah tiba di Manado pukul 15.31, pesawat pribadi ke Tianjin, Cina, dan tiba pukul 11 malam. Satu jam kemudian, pesawat kembali ke Manado dan tiba pukul 07:00 di Bandara Sam Ratulangi pada 27 Oktober.

Kedatangan itu terlambat lebih dari satu jam lantaran mestinya sempurna jam tujuh pagi pesawat harus sudah lepas landas dari Manado menuju Denpasar dengan nomor penerbangan JT 775.

Setelah tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai, pesawat direncanakan kembali ke Manado dan lepas landas pukul 09.55. Tetapi, lantaran gres tiba pukul 10.11, otomatis delay selama 4 jam 44 menit. Pesawat gres meluncur ke Manado pukul 14.34 siang.

Penyebab delay: armada PK-LQP digunakan untuk jadwal penerbangan pergi-pulang Denpasar-Lombok. Ia kembali ke Denpasar pukul 13.30; satu jam kemudian, gres melanjutkan terbang ke Manado.

Esok harinya, Minggu, 28 Oktober, armada PK-LQP yang menginap di Manado kebagian penerbangan pagi ke Denpasar. Lagi-lagi delay; mestinya berangkat pukul 06:40 malah molor 1 jam 13 menit.

Kejanggalan dikala Mendarat di Denpasar

Usai tiba di Denpasar kejanggalan terjadi: pesawat mendarat cukup lama. Tiba pukul 10:00, armada PK-LQP ini gres dijadwalkan terbang pukul 19.30. Kejadian ini menyimpang dari pola biasanya.

Sejak didatangkan dari Seattle, kota terbesar di Washington, pada pertengahan Agustus lalu, pesawat mulai efektif digunakan nonstop per 18 Agustus. Sampai 29 Oktober, PK-LQP telah terbang 439 kali di bawah Lion Air. Rerata, PK-LPQ kebagian 6 kali penerbangan per hari.

Apa yang terjadi di Denpasar ialah kejanggalan atau setidaknya memancing pertanyaan sebab semenjak 18 Agustus, PK-LQP tak pernah mendapatkan jatah kurang dari 4 kali penerbangan. Ia sempat kebagian 2 kali penerbangan dalam sehari pada 24 Oktober dan 3 kali penerbangan pada 26 Oktober. Tetapi dikala itu Lion Air PK-LQP kebagian jadwal pergi-pulang menuju Cina yang ditempuh lebih dari 6 jam sekali jalan.

Soal ngetem usang di Bandara Ngurah Rai ini dibenarkan Direktur Utama Lion Air Edward Sirait kepada Tirto, "Di Bali memang grounded, itu diperbaiki ganti sparepart." Meski begitu, ia membantah pesawat grounded lebih dari 12 jam.

:

Klaim ini tidak sinkron bila merujuk catatan pengelola Bandara Ngurah Rai. Sejak tiba di Denpasar pukul 10.00, pesawat Lion Air PK-LQP mestinya menuju Jakarta pukul 19.30. Tapi, faktanya, pesawat gres lepas landas pukul 22.21.

Jika memang pesawat sudah di bandara semenjak pagi, kenapa masih delay? Jika merujuk penerbangan lain dengan jam serupa menyerupai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-728 dan GA-7048, atau dengan Emirates EK-451 dan Lion Air JT 2611 semuanya terbang sesuai jadwal.

Spekulasi berkembang bahwa pesawat ini memang bermasalah semenjak tiba dari Manado. Saat digunakan dengan nomor penerbangan JT 43 tujuan Jakarta, ada gangguan teknis.

Meski begitu, hal itu ditampik Edward Sirait. "Jika pesawat rusak, tidak mungkin pesawat sanggup diizinkan terbang dari Denpasar. Ketika kami mendapatkan laporan kru pesawat, kami secepatnya membenahi," kilahnya.

Penerbangan Denpasar-Jakarta Memang Bermasalah?

Klaim Edward tak sepenuhnya akurat. Ada hal tak lazim dikala Lion Air PK-LQP terbang dari Denpasar menuju Jakarta. Dari data Flightradar24 terlihat proses menaikkan lambung pesawat tak stabil, malah turun dari ketinggian.

Proses anjlok dari ketinggian cukup drastis: 1 menit 4 detik sesudah lepas landas mencapai ketinggian 480 meter. Dalam tempo 20 detik, pesawat turun jadi 410 meter. Lalu pilot menarik tuas mesin hingga 453 km/jam dan pesawat kembali naik.

Selang 2,3 menit kemudian ketinggian pesawat berkisar 1700 meter. Dan, lagi-lagi, Lion Air PK-LQP anjlok drastis. Ketinggian pesawat turun hingga 300 meter dalam tempo 25 detik.

Ada beberapa kemungkinan penyebab kondisi tersebut: cuaca buruk, turbulensi, atau angin yang menghempas ke bawah (downdraft).

Masalahnya, cuaca malam itu di Bandara Ngurah Rai normal, terlebih bila dibandingkan maskapai lain yang lepas landas pada jadwal sama, menyerupai Citilink QG 691, Singapore Airline SQ 949, atau Batik Air OD 157 (masih satu grup dengan Lion Air). Pesawat-pesawat itu menjalani proses climbing secara mulus.

Konklusi sama kami sanggup temukan dikala membandingkan data Lion Air PK-LQP (Minggu, 28 Oktober) dengan penerbangan Lion Air rute Denpasar-Jakarta menggunakan jenis Boeing 737 Max 8: contohnya menyerupai nomor penerbangan JT 41. Saat menggunakan pesawat PK-LQK, PK-LGP, dan PK-LQH, proses climbing mereka terlihat normal.

Soal kejanggalan ini dibenarkan oleh praktisi penerbangan sekaligus mantan Direktur Teknik Sriwijaya Air Ananta Wijaya. "Dari situ memang kelihatan ada yang tidak normal dikala pesawat mau climbing," ucapnya kepada Tirto.

Pola ini menimpa Lion Air JT 610 sebelum hilang kontak, yang kemudian ditemukan di perairan Tanjung Karawang. Semenit pertama, JT 610 naik ke ketinggian 625 meter, kemudian turun 450 meter dalam tempo 25 detik. Pada titik inilah Kapten Bhayve Suneja menarik tuas sekencang-kencangnya hingga laju pesawat mencapai 630 km/jam, sehingga JT 610 naik ke ketinggian 1660 meter.

Dua menit kemudian, alih-alih semakin tinggi, pesawat stagnan pada ketinggian tersebut. Yang terjadi: dalam tempo empat menit selanjutnya pesawat keluaran Boeing terbaru ini anjlok drastis hampir 250 meter dari 1630 ke 1370 meter, dengan jeda 55 detik.

Lalu, si kapten berusaha kembali ke posisi normal; kemudian, sinyal terputus. Beberapa detik sebelum jatuh, kru dan penumpang mengalami gaya tarik gravitasi alias G-force atau terayun-ayun. Seketika ketinggian pesawat menukik hampir 365 meter dalam tempo 10 detik.

Membaca Kejanggalan Lion Air PK-LQP dari Logbook JT 43

Kemarin, di media sosial, beredar Logbook Lion Air dengan nomor penerbangan JT 43—pesawat sama untuk nomor penerbangan JT 610. Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait membenarkan dokumen ini, "Semua dokumen sudah kami serahkan ke KNKT supaya diinvestigasi."

Ada dua Logbook beredar di sosial media. Perbedaan keduanya hanya pada sketsa corrective action: yang satu kosong dan satu lagi sudah diisi teknisi Lion Air. Dalam Logbook itu ada dua poin penting yang dikeluhkan si pilot.

Keluhan pertama soal tak munculnya data ketinggian dan indicated airspeed (IAS).

Rahmat Budiarto, pengamat teknologi aviasi, menyebut keluhan ini sanggup jadi hal serius. Contoh masalah yang beririsan dengan duduk kasus ini ialah Air France 447 yang jatuh pada 1 Juni 2009 dan menewaskan 228 orang.

"Kalau tidak sinkron data altitude dan IAS, biasanya gosip penting. Karena data itu sanggup memengaruhi kinerja auto pilot. Karena itulah mungkin kenapa penerbangan JT 43 tak menggunakan auto pilot," ucap sosok yang juga jadi Sekjen di Ikatan Alumni Penerbangan Institut Teknologi Bandung ini.

Selain Logbook, beredar pula catatan teknisi Lion Air, yang memaparkan duduk kasus tersebut. Dari catatan inilah diketahui sistem auto pilot dikala itu tak berfungsi.

"STS (speed trim system) juga berjalan ke arah yang salah, dicurigai lantaran perbedaan kecepatan. Diidentifikasi instrumen pilot tidak sanggup dipercaya dan menyerahkan kontrol kepada ko-pilot," tertulis dalam catatan itu.

Rahmat menyebut pengambilalihan kendali pesawat ke ko-pilot lantaran data komputer di layar pilot mungkin kacau dan layar panel ko-pilot masih memperlihatkan data normal. Sulit mengaitkan penyebab duduk kasus ini dengan gangguan PK-LQP dikala climbing alasannya ialah dikala proses menaikkan lambung pesawat, sistem kendali autopilot biasanya belum terpakai.

Keluhan kedua: ada perbedaan feel pressure.

Secara garis besar feel pressure difungsikan untuk memperlihatkan beban kepada setir (control column) menyimulasikan tekanan aerodinamika di bilah kendali supaya terasa natural. Dalam Logbook, Kapten William Martinus mengeluhkan beban berlebih yang diterima dikala memegang kendali setir.

Salah seorang teknisi senior di sebuah maskapai penerbangan nasional membagikan pengetahuan kepada Tirto bahwa hambatan ini sanggup jadi penyebab Lion Air PK-LQP kepayahan dikala proses menanjak ke lebih dari 5000 kaki.

Feel different pressure sanggup jadi mengambarkan ada kerusakan serius di potongan elevator (kemudi angkat di potongan ekor). Elevator punya fungsi kontrol mengarahkan hidung pesawat untuk naik atau turun.

"Data feel diff pressure itu diambil dari sistem pilot di elevator. Feel ditansmisikan ke setir. Di setir, komputer feel elevator menggunakan sistem hidrolik atau tekanan. Itu dipilih mana yang angkanya paling besar. Jika dua sistem ini gangguan, maka komputer feel di elevator akan mencicipi differential pressure yg berlebih," katanya.

Demi menjawab keluhan pilot penerbangan JT 43, wacana yang dicek si teknisi pun memang potongan elevator, dan hal ini sanggup dilihat di Logbook. Dalam laporan, si teknisi menulis elevator itu tak bermasalah. "Performed cleaned electrician plug of elevator feel computer test on the ground found ok," tulisnya.

Logbook JT 43 memang sanggup jadi analisis awal, meski tak sanggup jadi contoh mencari musabab jatuhnya pesawat PK-LQP di perairan Tanjung Karawang.

"Kita mesti menunggu pemeriksaan pihak terkait terutama data dari Black Box," tukas si teknisi.