Kisah Usaha Imam Syafi I Seorang Imam Besar Yang Tak Tergantikan


imam syafi i via redaksiindonesia.com

Imam syafi i disebut juga seorang nashirussunnah yan berarti pembela sunnah. Mengapa demikian? Simak biografi kehidupan imam syafi i selengkapnya!

Siapa yang tidak mengenal salah satu imam besar yaitu Imam Syafi'i? tentu sudah tidak absurd lagi ditelinga orang islam.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini kita akan membahas biografi dia secara singkat. Inilah biografi singkat imam madzab, imam Syafi'i yang sangat populer hingga kini ini.

Ulama yang lahir di Gaza 150 H dan wafat di Mesir 204 H ini dikenal sebagai mujtahid mutlak.

Kisah Imam Asy-Syafii bercerita seorang ulama yang tekun dalam berguru hingga akibatnya menjadi ulama dan banyak diikuti manusia. Imam Syafi'i yakni seorang ulama besar yang sulit dicari tandingannya pada zaman itu hingga zaman sekarang.


Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi menjadi salah satu ulama besar dalam sejarah umat Islam. Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Syafi i dan merupakan pendiri mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab secara umum dikuasai di Indonesia.

Pengetahuan keilmuan seorang Imam Syafi i pun tidak perlu diragukan. Beliau mendapat ilmunya dari para guru yang berpengetahuan luas. Apalagi, nasab dia juga bertemu dengan Rasulullah SAW, sama-sama merupakan keturunan Abdi Manaf.

Bedanya, Nabi Muhammad SAW merupakan cucu dari Abdul Muthalib yang merupakan anak dari Hasyim. Sementara itu, garis nasab Imam Syafi i berasal dari Al-Muthalib yang merupakan saudara dari Hasyim.

Berikut yakni biografi Imam Syafi i bagi Anda yang ingin mendalami kisah beliau.

Nama Imam Syafi i merupakan nama salah satu ulama’ yang sangat masyhur bagi kaum muslimin di Indonesia, terutama bagi orang-orang yang bermadzhab syafi’i. Namun, banyak juga di antara kita yang belum tahu atau belum paham perihal biografi dan hal-hal yang ada hubungannya dengan beliau. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini kita akan membahas biografi dia secara singkat.

Nama dan Nashab Imam Syafi i

Beliau yakni Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.

Kelahiran Imam Syafi’i

Beliau lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hurairah. Imam Syafi i dilahirkan di sebuah daerah berjulukan Ghazzah di Asqalan. Keteika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang yaman, sebab ibunya dari suku Azdiyah.

: Kisah Mengharukan, Adzan Bilal bin Rabbah yang Terakhir

Pertumbuhan dan Kegiatan Imam Syafi i dalam Mencari Ilmu

Beliau tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim sehabis ayahnya meninggal, sehingga berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarganya. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikannya lemah dalam mengarungi kehidupan, sehabis Allah memberinya taufiq untuk menempuh jalan yang benar.

Dengan kasih sayang, sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yaitu kota Makkah atau daerah erat Makkah. Imam Syafi i mulai menghafal al-Qur’an sehingga dia menghafalnya secara tepat pada usia 7 tahun.

Setelah menghafal al-Qur’an, dia hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadits dan permasalahan agama. Beliau sangat tekun dalam belajar, sehingga beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 10 tahun.

Pada dikala berusia 15 tahun (ada yang menyampaikan 18 tahun), dia berfatwa sehabis mendapat izin dari gurunya yang berjulukan Muslim bin Khalid az-Zanji. Walaupun berbahasa arab, dia juga berguru bahasa Arab kepada suku Hudzail dan menghafal syair-syairnya.

Setelah menghafal kitab al-Muwaththa’, dia pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Tinggalnya dia di Madinah tidak terus-menerus melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk bertemu ibunya.

Dalam kepulangannya, dia menyempatkan diri untuk mendengar syair-syair suku Hudzail dan berguru kepada ulama Makkah. Beliau berguru di Madinah, hingga wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H.

Sekembalinya dari Madinah, dia sibuk dengan ilmunya. Sekalipun ia tidak bisa membeli kitab-kitab sebab miskin, namun sebab kecintaannya terhadap ilmu sangat besar dia menulis ilmu-ilmu yang diperoleh pada sesuatu yang bisa ditulisi.

Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya:

مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ اْلعِلْمِ وِ طَالِبُ دُنْيَا

“Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang; yaitu: pencari ilmu dan pencari dunia.” [HR ad-Darimi, hadits shahih sesuai kriteria al-Bukhari dan Muslim]

Hausnya terhadap ilmu dan sebab kemiskinan, dia pun pergi ke Yaman untuk berguru sambil bekerja. Ketika prestasinya baik, dia diberi pekerjaan tambahan, namun dia senantiasa mencari celah untuh meraih ilmu hingga akibatnya mendapat fitnah (yaitu berupa tuduhan dusta bahwa dia memberontak kepada khalifah Harun ar-Rasyid).

Beliau di usir ke Irak dalam keadaan diikat dengan rantai, dan disiksa sepanjang perjalanan menuju Irak, hingga akibatnya Allah menyelamatkan dari fitnah tersebut. Beliau tinggal untuk sementara waktu di Irak untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di negara tersebut.

Sepulangnya dari Irak, dia mulai mengajar di Makkah tempatnya berguru dulu. Pada ekspresi dominan haji, dia ditemui oleh banyak ulama’. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam memakai dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam ilmu fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum.

Mereka juga kagum terhadap terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hingga hampir 9 tahun, Imam Syafi i mengadakan majelis (halaqah) pengajian di Makkah, kemudian pergi ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H.

Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun, pergi ke Makkah kemudian tiba lagi pada tahun 198 H dan tinggal di sana selama beberapa bulan, sehabis itu ia pergi ke Mesir.

Kepergian dia dari Irak untuk selamanya ini, sebab terjadinya peristiwa alam yang menimpah pemerintah kaum muslimin, yaitu telah dikuasainya khalifah al-Ma’mun oleh mahir ilmu kalam sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah sunnah. Sesampainya di negeri Mesir, dia pergi ke masjid ‘Amr bin al-‘Ash dan untuk pertama kalinya dia memberikan kajian di masjid tersebut. Beliau disibukkan oleh belajar, mengajar dan berdakwah di negeri Mesir hingga wafatnya.

: Kisah Al Kindi, Sosok Ilmuan Muslim Pertama yang Sangat Jenius

Guru dan Murid-murid Imam Syafi i

Beliau mengambil banyak ilmu dari para ulama di aneka macam daerah pada zamannya, di antaranya di Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Bashrah, Syam, dan Mesir. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah.

Adapun murid-murid beliau, sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Baihaqi, al-Hafizh al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani bahwa orang-orang yang mengambil ilmu dari Imam Syafi i sangat banyak sekali, sehingga tidak ada yang sanggup menghitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja, sebab setiap dia tiba ke suatu negeri dan dia membuatkan ilmunya, dia didatangi oleh banyak orang untuk belajar.

Karya Imam Syafi i

Para ulama’ telah menyebutkan karya dia yang tidak sedikit, di antaranya adalah: al-Umm, ar-Risalah al-Jadidah, al-Musnad, Mihnatu asy-Syafi’i, Ahkamu al-Qur’an, dan lain sebagainya. Sebagian karya dia hilang dan sebagian yang lain lagi dihimpun oleh beberapa orang dari kalangan asy-Syafi’iyah (ulama-ulama yang mengikuti Imam Syafi i dalam ilmu fiqih).

Perkataan-perkataan Imam Syafi i

Banyak sekali perkataan-perkataan dia yang ditulis oleh dia ataupun oleh ulama-ulama yang lain, di antaranya ialah:

“Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara, yaitu: takwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah, dan rasa takut.” [Manaqib Syafi’i, oleh al-Baihaqi]

“Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpendapatlah kalian dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkan apa yang saya katakan.” (Dalam riwayat yang lain, “Maka ikutilah sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang pun.”) [Al-Majmu’ oleh an-Nawawi]

“Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan para mahir periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang saya katakan, maka saya menarik kembali perkataanku, baik ketika saya masih hidup maupun sehabis saya mati.” [I’lamu al-Muwaqqi’in oleh Ibnu al-Qayyim]

Beliau berkata dalam bait syairnya:

Hakikat seorang yang faqih (paham agama) itu dengan perbuatannya

Bukan dengan ucapan dan kata-katanya

Seorang pemimpin yakni diukur dengan akhlaknya

Bukan dengan kaum dan jumlah masanya

Demikian pula orang yang kaya itu kaya dengan keadaan jiwanya

Bukan kaya dengan kekuasaan dan hartanya

[Diwan al-Imam asy-Syafi’i hal. 97]

Wafatnya Imam Syafi’i

Di simpulan hayatnya, Imam Syafi i sibuk berdakwah, membuatkan ilmu, dan menulis. Beliau terkena penyakit wasir yang mengakibatkan keluarnya darah. Namun, penyakit tersebut tidak menghalanginya dari melaksanakan pekerjaannya tersebut, sebab kecintaan dia terhadap ilmu agama. Hal itu terjadi hingga beliau wafat pada simpulan bulan Rajab tahun 204 H. Semoga Allah memperlihatkan rahmat yang luas kepadanya.

Semoga dengan risalah yang singkat ini bisa mendekatkan pemahaman kita terhadap biografi beliau, dan supaya semangat dia dalam mencari ilmu dan menyebarkannya sanggup memperlihatkan motivasi bagi kita semua. Sehingga kita bersemangat dalam mencari dan membuatkan ilmu yang bermanfaat bagi kita, baik di dunia maupun di alam abadi kelak. Aamiin
Related Posts