Pro Kontra Narasi Azab Dalam Sinetron Indonesia! Benarkah Mencoreng Wajah Islam?
Judul sinetron azab yang mulai dibentuk mainan oleh netizen (twitter.com)
Sering nonton sinetron bertema Azab?
Mungkin pesan yang disampaikan baik, namun sinetron semacam ini belakangan banyak menjadi sorotan masyarakat.
Bukan terkesima, banyak yang menganggap sinetron semacam ini dirasa tak masuk kecerdikan dan justru mencoreng wajah Islam.
Lantas benarkah demikian?
Sinetron bertema azab bukan hal gres tetapi belakangan menjadi sorotan netizen.
Banyak orang yang menyesalkan narasi dari sinetron semacam ini, apalagi menggambarkan agama sebagai sesuatu yang mengerikan.
Peneliti antropologi politik dan agama dari Universitas Paramadina, Suratno, mengungkapkan bahwa sinetron azab tidak masuk kecerdikan dan justru mencoreng wajah Islam.
"Saya kira narasi besar sinetron azab itu Islam yang irasional, tidak logis, sumbu pendek," katanya, Selasa (9/10/2018), menyerupai dilansir dari kompas.com.
Udah ada yang buat mainan judul sinetron Azab: pic.twitter.com/Y917w0nP1H— FF 🐬 (@nrg07) 4 Oktober 2018
usang lama sinetron azab jauh lebih lucu dari stand comedy 😅— Hanif Ramadhani (@Haerboy) 8 Oktober 2018
Hal yang sama diungkapkan Muzayin Nazaruddin, staf pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dalam makalahnya yang berjudul "Menonton Sinetron Religius, Menonton Islam Indonesia".
Ia menyatakan, sinetron religius yang menjual azab menampilkan Islam yang melihat realitas secara ekstrem hitam putih. Muslim ideal yaitu yang penuh kepasrahan.
Sosok agamawan dalam sinetron religius, kata Muzayin, ditampilkan reduktif. Kerapkali sebagai pengusir hantu dan penangkal sosok jahat. Kematian digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan. Demikian juga Al Quran. Kitab suci maha mulia yang sesungguhnya memuat banyak pesan itu ditampilkan sebagai sumber ayat azab serta pengusir roh jahat.
Narasi besar itu bertentangan dengan wajah Islam yang sebenarnya. "Al Alquran sesungguhnya banyak mengajak kita untuk berpikir. Afala tatafakkarun. Menggunakan kecerdikan pikiran," kata Suratno.
Dalam makalahnya yang terbit 2009, Muzayin menuturkan bahwa sinetron bertema azab dapat laris lantaran penggemarnya tak hanya mencari hal gres tetapi juga "bernostalgia".
Mereka bermimpi mendapat masa kemudian di mana ada keadilan, Tuhan membalas pendosa dan orang yang merusak tatanan sosial serta memenangkan orang tak berdaya.
Realitas itu dirindukan alasannya dalam kenyataannya, orang tak berdaya kerap melihat ketimpangan, kemenangan orang yang dianggap tidak bermoral, dan hidup yang makin sulit.
"Maka, kalau kita kaitkan dengan permasalahan sehari-hari, tayangan-tayangan gaib tersebut, baik film maupun sinetron, sungguh-sungguh lepas dari realitas sosial empirik. Tegasnya, a-historis," urai Muzayin.
:
- Perjuangan Antara Hidup dan Mati , 6 Wanita Satu Keluarga Terjebak Lumpur Petobo
- Hati-Hati, Ini Bahaya yang Masih Suka STMJ (Sholat Terus Maksiat Jalan)
- Naudzubillah! Virus Bum Selfie, Netizen Ramai-Ramai Pamer Bokong di Objek Wisata Bali
Kemunduran
Sementara Suratno mengungkap, kemunculan sinetron dan film bertema azab yang kembali marak di layar beling yaitu potret kemunduran."Umat yang sudah mulai lebih rasional digiring lagi mundur ke belakang, ke yang irasional, seram. Makara tayangan bertema azab ini yaitu setback," katanya.
Di sisi lain, sinetron itu juga mengomunikasikan azab dengan tidak tepat, seakan-akan Tuhan yaitu azab selalu diterima di dunia.
" Azab itu ada 3, di dunia, di kubur, dan di akhirat. Makara enggak mesti di dunia," katanya.
"Kenyataannya azab di dunia itu juga problematis lantaran tafsirnya subyektif." Seseorang dapat melihat kejadian jelek tertentu sebagai azab tetapi orang lain dapat melihatnya sebagai tantangan hidup.
Jika sinetron bertema azab itu terus dibiarkan, dampaknya secara tidak eksklusif dapat menciptakan orang dengan gampang mengutuk pihak lain di samping menciptakan orang salah sangka dengan agama.
"Yang efek eksklusif berdasarkan saya yaitu membentuk nalar sarkastik. Lebih baik kalau sinetron menyerupai itu konsepnya pintu tobat. Meski konsepnya vulgar, sederhana, simplistik, tapi lebih edukatif," tutup Suratno.
Nah bagaiman kalau berdasarkan Anda?