Sidratul Muntaha, Dimana Kawasan Suci Yang Paling Mulia Itu Berada?


Gambar ilustrasi dari boombastis.com

Sidratul Muntaha ialah tujuan terakhir perjalanan isra' mi'raj, yang dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu semalam.

Pun juga disebutkan dalam Al Qur'an, pohon Sidratul Muntaha disebut sebagai pohon catatan hidup. Sehelai daun jatuh berarti akan ada yang meninggal.

Lantas dimanakah Sidratul Muntaha ini berada?

Peristiwa Isra Miraj tidak sanggup dilepaskan dari Sidratul Muntaha. Sebuah daerah suci yang masih menjadi misteri bagi umat Islam.

Sidratul Muntaha atau yang lebih kita kenal dengan Langit Ketujuh diyakini sebagai daerah bertemu Rasulullah Muhammad SAW dengan Allah SWT. Pertemuan ini menghasilkan perintah eksklusif dari Allah kepada Nabi SAW yaitu sholat lima waktu.

Lantas, di manakah Sidratul Muntaha terletak?

Sidratul Muntaha secara harfiah mempunyai makna 'tumbuhan sidrah yang tidak terlampaui.' Jika dibayangkan, mungkin menyerupai pohon yang sangat tinggi meski makna bahwasanya bukanlah tumbuhan.

Nama ini bahwasanya melambangkan tidak ada satupun makhluk yang sanggup hingga di sana. Hanya atas izin Allah SWT saja, daerah itu sanggup didatangi.

Sejumlah dalil juga tidak menyebut secara rinci menyerupai apa daerah ini. Contohnya menyerupai Surat An Najm ayat 13-18.

" Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada nirwana daerah tinggal, (Muhammad melihat Jibril) saat Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebahagian gejala (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."

:

Dimanakah Tujuh Langit Ini Berada?

Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah Isra’ mi’raj dan sebutan “sab’ah samawat” (tujuh langit) di dalam Al-Qur’an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.

Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam problem ini. Dari segi sejarah, segi makna “tujuh langit”, dan hakikat langit dalam dongeng Isra’ mi’raj.

Sejarah Tujuh Langit

Dari segi sejarah, orang-orang dahulu (jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan) memang beropini adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda.

Kesimpulan ini menurut pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih bersahabat jaraknya. Lalu ada citra seakan-akan benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda.

Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga.

Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan usang yang menganggap bumi sebagai sentra alam semesta.

Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mensugesti kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, hingga yang terdekat, bulan.

Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday ialah Sabtu.

Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur hingga tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.

Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.

Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut menurut urutan: satu, dua, tiga, …, hingga tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah, dan sab’ah.

Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum’at, sebab itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur’an yang mengatakan adanya kewajiban shalat Jum’at berjamaah.

Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini menurut kepercayaan Katolik bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, akhirnya lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.

Makna Tujuh Langit

Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran.

Dan lapisan‑lapisan yang melukiskan daerah kedudukan benda‑benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.

Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Contoh pada surat Al-Baqarah ayat 261, disana Allah menjanjikan:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah ayat 261]

Lalu pada surat Luqman ayat 27:

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan bahari (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh bahari (lagi) setelah (kering)nya, pasti tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Luqman ayat 27]

Kaprikornus ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai tatanan benda‑benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan‑lapisan langit.

Tujuh langit pada Mi’raj

Kisah Isra’ Mi’raj semenjak usang telah menjadikan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit.

Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa jago tafsir beropini Sidratul Muntaha itu ialah Bintang Syi’ra. Tetapi sebagian lainnya, menyerupai Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, beropini bahwa tujuh langit dalam dongeng Isra’ mi’raj ialah langit ghaib.

Dalam dongeng mi’raj itu kejadian lahiriah bercampur dengan kejadian ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di nirwana dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitul Makmur, daerah ibadah para malaikat.

Jadi, nampaknya pengertian langit dalam dongeng mi’raj itu memang bukan langit lahiriah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib.

Wallahu A'lam.