Walau Engkau Yaitu Seorang Habib...


Korban kekerasa yang diduga dilakukan oleh seorang habib (foto: kaskus.co,id)

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,


وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak sanggup mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).

Yang salah tetep salah, yang benar tetep benar di hadapan Allah SWT...

Habib sudah ma’ruf di tengah-tengah kita yaitu seorang keturunan Nabi. Namun kadang kita lihat tingkah laris mereka asing bahkan menyimpang dari yang diajarkan leluhur beliau.

Siapa yang buruk amalnya, maka tidak ada manfaat kedudukan atau nasab mulianya.

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak sanggup mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

Dan bagi masing-masing mereka derajat berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al An’am: 132 dan Al Ahqaf: 19). Ayat ini memperlihatkan bahwa amalanlah yang menaikkan derajat hamba menjadi mulia di akhirat.

Nasabmu Tak Ada Guna, Walau Engkau Keturunan Nabi

Siapa yang lamban amalnya, maka itu tidak sanggup mengejar kedudukan mulia di sisi Allah walau ia mempunyai nasab (keturunan) yang mulia.

Nasabnya itu tidak sanggup mengejar derajat mulia di sisi Allah. Karena kedudukan mulia di sisi Allah yaitu timbal balik dari amalan yang baik, bukan dari nasab.

Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat lainnya,

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101). Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 308.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak sanggup menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akibatnya sedikit dalam beramal.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 21).

Berlombalah dalam Kebaikan Meraih Ampunan dan Rahmat Allah dengan Amalan

Berlomba di sini bukan alasannya yaitu engkau keturunan Nabi atau orang sholih, namun yang dipandang yaitu siapa yang paling baik amalnya. Karena demikianlah yang Allah perintahkan dalam aneka macam ayat,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

Dan bersegeralah kau kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 133-134).

Juga dalam ayat lain disebut,

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati alasannya yaitu takut akan (azab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memperlihatkan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sebetulnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk menerima kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 57-61).

Kaprikornus berlomba-lombalah dengan beramal. Beramal pun bukan asal-asalan. Beramal itu harus sesuai tuntunan.

Seandainya seorang habib merekayasa suatu amalan yang tidak pernah ada dasarnya dari nenek moyangnya, maka terperinci amalan habib ibarat ini tertolak. Karena nasab tidak ada arti dikala ini, namun siapakah yang paling baik amalnya yang sesuai tuntunan, itulah yang paling mulia.

Fatimah (Puteri Muhammad) Saja Tidak Bisa Ditolong Ayahnya

Dalam shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah, di mana ia berkata,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun ketika turun ayat, ” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu dia berkata, “Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sebetulnya saya tidak sanggup menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sebetulnya saya tidak sanggup menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sebetulnya saya tidak sanggup menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sebetulnya saya tidak sanggup menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sebetulnya saya tidak sanggup menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).

Jika Fatimah saja puteri Nabi tidak sanggup ditolong oleh ayahnya sendiri, bagaimanakah dengan keturunan di bawahnya, apalagi kalau cuma legalisasi saja sebagai keturunannya?

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Yajis, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H. Dinukil dari rumaysho.com.