Viral Pengantin Menangis Alasannya Yaitu Dijodohkan! Apa Boleh Dalam Islam Memaksakan Jodoh?


Sumber gambar dari video viral di banyak sekali media sosial.

Nah ini perlu diperhatikan orangtua...

Selain merenggut kebahagiaan anak, bagaimana hukumnya dalam Islam orangtua memaksa anak gadisnya menikah ?

Sedang viral di media sosial, video pengantin menangis dan meminta pulang jawaban dijodohkan oleh orangtuanya.

Video tersebut diunggah oleh akun @lambe_turah dan menyedot perhatian netizen.

"Menikah alasannya yaitu di jodohkan, Pengantin perempuan terus menangis dan meminta pulang. Duhh kasian" Tulis @lambe_turah, dalam captionnya.


Video tersebutpun banyak menuai komentar netizen, bahkan ada juga yang mengalami hal serupa.

"Bodoh orang tuanya ,mementingkan ego nya , anaknya gk patuh sama suami ya jgn salahkan anaknya , anaknya hancur rumah tangga nya jgn salahkan anaknya .. biarkan anak menentukan dgn pilihannya sndiri ,jika ada resiko biar ditanggung sndiri.." komentar salah satu netizen.

Lantas bagaimana hukumnya memaksakan jodoh anak dalam islam?

Gambar: Seorang dewasa rusia dipaksa nikah dengan laki-laki yang tak diinginkannya (kompas.com)

Tidak dapat dipungkiri, masih banyak orang renta memaksa anak gadisnya menikah dengan dengan laki-laki pilihan orang tua.

Padahal, hal tersebut jelas-jelas terlarang dalam Islam dan menjadikan dosa yang sangat besar!

Perlu orang renta pahami, memaksa anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintai, sejatinya kedzaliman.

Haram bagi wali seorang perempuan untuk memaksanya menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai, ibarat yang kami rangkum dari konsultasisyariah.com.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan wacana kiprah wali terhadap putrinya sebelum menikah,

لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

Gadis dihentikan dinikahkan hingga ia dimintai izin.” (HR. Bukhari 6968 & Muslim 1419).

Hadis ini dipahami para ulama berlaku untuk semua gadis dan semua wali. Karena itu, Imam Bukhari memberi judul hadis ini dengan pernyataan,

باب لا يُنكح الأبُ وغيره البكرَ والثَّيِّبَ ، إلا برضاهما

"Ayah maupun wali lainnya dihentikan menikahkan seorang gadis maupun janda, kecuali dengan keridhaannya". (Shahih Bukhari, penggalan ke-41).

Sekali lagi orang renta harus faham, memaksa anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintai, sejatinya kedzaliman.

Dari mana si perempuan dapat mencicipi kebahagiaan, sementara ia harus bersama orang yang tidak ia cintai. Karena tujuan utama menikah yaitu untuk mewujudkan kebahagiaan kedua belah pihak. Kedua pasangan suami istri. Bukan kebahagiaan orang tua.

Karena itu, Syaikhul Islam  menganggap sangat asing adanya kasus pemaksaan dalam pernikahan. Beliau mengatakan,

وأمَّا تزويجها مع كراهتها للنكاح ، فهذا مخالف للأصول والعقول ، والله لم يُسوِّغ لوليها أن يُكرهها على بيع أو إجارة إلا بإذنها ، ولا على طعام ، أو شراب ، أو لباس ، لا تريده ، فكيف يكرهها على مباضعة ومعاشرة من تكره مباضعته ! ، ومعاشرة من تكره معاشرته !.

والله قد جعل بين الزوجين مودةً ورحمة ، فإذا كان لا يحصل إلا مع بغضها له ونفورها عنه ، فأيُّ مودةٍ ورحمةٍ في ذلك !!

Menikahkan anak perempuan padahal ia tidak menyukai ijab kabul itu, yaitu tindakan yang bertentangan dengan prinsip agama dan logika sehat. Allah tidak pernah mengizinkan wali perempuan untuk memaksanya dalam transaksi jual beli, kecuali dengan izinnya. Demikian pula, ortu dihentikan memaksa anaknya untuk makan atau minum atau menggunakan baju, yang tidak disukai anaknya. Maka bagaimana mungkin ia tega memaksa anaknya untuk bekerjasama dan bergaul dengan lelaki yang tidak ia sukai bekerjasama dengannya. Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang diantara pasangan suami istri. Jika ijab kabul ini terjadi dengan diiringi kebencian si perempuan kepada suaminya, kemudian dimana ada rasa cinta dan kasih sayang??” (Majmu’ Fatawa, 32/25).

Status ijab kabul alasannya yaitu terpaksa

Ketika orang renta memaksa putrinya untuk menikah, maka status ijab kabul tergantung kepada kerelaan pengantin wanita.

Jika ia rela dan bersedia dengan pernikahannya maka akadnya sah. Jika tidak rela, akadnya batal.

Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

Ada seorang perempuan yang mengadukan perilaku ayahnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan,

Ayahku memaksa saya menikah dengan keponakannya. Agar ia terkesan lebih mulia sehabis menikah denganku.”

Kata sobat Buraidah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan urusan ijab kabul itu kepada si wanita.

Kemudian perempuan ini mengatakan,

قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي ، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

Sebenarnya saya telah merelakan apa yang dilakukan ayahku. Hanya saja, saya ingin semoga para perempuan mengetahui bahwa ayah sama sekali tidak punya wewenang memaksa putrinya menikah. (HR. Ibn Majah 1874, dan dishahihkan oleh al-Wadhi’I dalam al-Shahih al-Musnad, hlm. 160).

Dan dikala si perempuan tidak bersedia dan tidak rela dengan pernikahannya, ia dihentikan untuk berduaan dengan suaminya, demikian pula sebaliknya, suami dihentikan meminta istrinya untuk berduaan bersamanya.

Ini berlaku selama ia tidak ridha dengan pernikahannya.

:



Sekalipun ia tidak ridha, tapi tidak otomatis pisah.

Dalam arti, perpisahan harus dilakukan melalui ucapan talak yang dilontarkan suami atau istri menggugat ke Pengadilan, untuk dilakukan fasakh.

Mengingat ada sebagian ulama yang menilainya sebagai ijab kabul yang sah.

Sehingga yang dapat dilakukan perempuan ini, meminta  suaminya untuk mengucapkan kata cerai. Atau ia mengajukan ke pengadilan semoga diceraikan hakim (fasakh).

Ada pertanyaan  yang diajukan kepada Lajnah Daimah,

Bagaimana aturan islam untuk perempuan yang dinikahkan paksa ortunya.”?

Jawaban Lajnah,

إذا لم ترض بهذا الزواج ، فترفع أمرها إلى المحكمة ، لتثبيت العقد أو فسخه

Jika ia tidak rela dengan pernikahannya, ia dapat mengajukan masalahnya ke pengadilan, untuk ditetapkan apakah akadnya dilanjutkan ataukah difasakh.” (Fatwa Lajnah, 18/126)

Demikanlah aturan memaksa anak perempuan menikah denga pri yang tak diinginkannya, semoga menambah wawasan kita sebagai orang tua. Wallahu A'lam.