Menjarah Ketika Tragedi Boleh, Tapi Asalkan Dengan Alasan Ini


Image from konsultasisyariah.com

Apa aturan penjarahan mini market ketika suasana tragedi berdasarkan Islam dan negara, menyerupai gempa dan Tsunami baru-baru ini? Apakah alasan tragedi membolehkan hal itu?

Berikut klarifikasi para ulama' mengenai hal itu..

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Terdapat kaidah yang mengatakan,

الحدود تدرأ بالشبهات

Hukuman had, digugurkan alasannya alasan syubhat.

Hukuman had yaitu eksekusi bagi pelaku kriminal yang sudah ditentukan dalam islam. Seperti potong tangan bagi pencuri. Sementara yang dimaksud syubhat yaitu semua alasan yang bisa menggugurkan hukuman, contohnya kelaparan atau ketidak-jelasan.

Para ulama menegaskan, bahwa pencurian atau penjarahan ketika ekspresi dominan kelaparan, menggugurkan eksekusi had.

As-Saerozi – Ulama Syafiiyah – dalam al-Muhadzab mengatakan,

وإن سرق الطعام عام المجاعة نظرت، إن كان الطعام موجوداً قطع، لأنه غير محتاج إلى سرقته، وإن كان معدوماً لم يقطع، لما روي عن عمر ـ رضي الله عنه ـ أنه قال: لا قطع في عام المجاعة أو السنة ـ ولأن له أن يأخذه، فلم يقطع فيه

Jika ada orang yang mencuri ketika kelaparan, maka dilihat,

Jika kuliner masih ada, maka dia dipotong tangannya, alasannya dia tidak butuh untuk mencuri kuliner itu. Namun bila dia tidak mempunyai makanan, tidak dipotong tangannya.

Berdasarkan riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mengatakan, ‘Tidak ada potong tangan ketika ekspresi dominan kelaparan’, dan dia juga punya hak untuk mengambil makanan, sehingga tidak dipotong tangannya. (al-Muhadzab, 2/282).

Pada pernyataan dia di atas, dalam kondisi kelaparan dan langka makanan, orang boleh mencuri. Dan ini yang menjadi salah satu syubhat untuk tidak dipotong tangannya.

Ibnul Qoyim dalam I’lamul Muwaqqi’in mengatakan,

إذا كانت سنة مجاعة وشدة غلب على الناس الحاجة والضرورة، فلا يكاد يسلم السارق من ضرورة تدعوه إلى ما يسد به رمقه، ويجب على صاحب المال بذل ذلك له، إما بالثمن أو مجانا، على الخلاف في ذلك

Jika terjadi kelaparan yang mencekam sehingga masyarakat mengalami kondisi terpaksa dan darurat, maka pencuri tidak ada yang melaksanakan aksinya selain alasannya alasan darurat untuk menutupi kebutuhan makannya.

Dan wajib bagi pemilik harta untuk menawarkan harta itu kepadanya, baik dengan cara membeli atau gratis, ada khilaf ulama dalam problem ini.

Kemudian Ibnul Qoyim melanjutkan,

والصحيح وجوب بذله مجانا لوجوب المواساة وإحياء النفوس مع القدرة على ذلك والإيثار بالفضل مع ضرورة المحتاج، وهذه شبهة قوية تدرأ القطع عن المحتاج… لا سيما وهو مأذون له في مغالبة صاحب المال على أخذ ما يسد رمقه

Dan pendapat yang benar, wajib bagi pemilik kuliner untuk menyerahkan kuliner itu secara gratis. Mengingat adanya kewajiban kesamaan sepenanggungan dan menjaga jiwa selama masih bisa dilakukan, dan mendahulukan orang lain dengan kuliner di luar kebutuhan pokoknya ketika orang yang membutuhkan dalam kondisi darurat.



Dan ini syubhat yang sangat kuat, yang menggugurkan eksekusi potong tangan bagi orang yang membutuhkan… terlebih dia diizinkan untuk memaksa pemilik kuliner semoga dibolehkan mengambil kuliner yang cukup untuk mengatasi kelaparannya. (I’lamul Muwaqqi’in, 3/11)

Jika kondisi membutuhkan tidak hingga pada batas darurat, tidak kami jumpai adanya pernyataan dari ulama yang membolehkan pencurian. Artinya pencurian tetap dilarang, sehingga tidak menghilangkan dosa mencuri. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

الاضطرار شبهة تدرأ الحد، والضرورة تبيح للآدمي أن يتناول من مال الغير بقدر الحاجة ليدفع الهلاك عن نفسه… والحاجة أقل من الضرورة فهي كل حالة يترتب عليها حرج شديد وضيق بين، ولذا فإنها تصلح شبهة لدرء الحد، ولكنها لا تمنع الضمان والتعزير

Darurat termasuk syubhat yang menggugurkan eksekusi had. Darurat membolehkan insan untuk mengambil harta orang lain, sesuai kebutuhannya untuk menghindari resiko maut dirinya…

Seperti yang dikutip dari konsultasisyariah.com, kondisi hajat (kondisi butuh) lebih ringan dibandingkan darurat. Hajat yaitu semua keadaan yang menjadikan kesulitan besar, alasannya itu bisa dijadikan alasan syubhat untuk menggugurkan eksekusi had.

Namun ini tidak menghalangi adanya ganti rugi maupun eksekusi ta’zir (hukuman selain had). (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 24/298-299).

Penjelasan para ulama terkait kondisi hajat dan kondisi darurat di atas hanya berlaku untuk pencurian dalam bentuk kuliner atau semua hal yang diperlukan untuk mempertahankan hidup.

Adapun properti lainnya yang tidak berkaitan dengan pertahanan hidup, menyerupai televisi atau perabotan, hukumnya menyerupai aturan asal, yaitu tidak boleh untuk diambil.

Demikian, Wallahu a’lam.