Menuntut Suami Lebih, Tapi Sudahkah Engkau Memenuhi 15 Kewajiban Ini Wahai Istri?


Gambar ilsutrasi dilansir dari kerenbanget.com

Memang isteri itu pendamping hidup, bukan pembantu rumah tangga...

Namun jangan pernah enak-enakkan menuntut suami, apalagi bukan dalam batas kemampuannya.

Jikalaupun engkau menuntut lebih, sudahkah engakau memenuhi 16 kewajiban syariat ini sebagai istri?

Banyak istri belakangan ini menuntut suaminya lebihdan lebih dalam memperlihatkan nafkah baginya!

Uang belanja beda dengan uang nagkah, istri bukan pembantu dll.

Sebenranya boleh-boleh saja istri menuntut hak lebih pada suami, namun sudahkah istri menunaikan seluruh kewajibannya?

Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ

Seandainya saya memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu saya akan memerintah para perempuan untuk sujud pada suaminya lantaran Allah telah menyebabkan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang perempuan –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)

Jika kewajiban istri pada suami yaitu semulia itu, maka setiap perempuan punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.

Oleh lantaran itu sebelum menuntut suami memenuhi segala tanggungjawabnya kepada istri, seharusnya istripun memenuhi segala hak suami darinya.

Berikut yaitu rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama: Mentaati perintah suami

Istri yang taat pada suami, bahagia dipandang dan tidak membangkang yang menciptakan suami benci, itulah sebaik-baik wanita.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah perempuan yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan kalau dilihat suaminya, mentaati suami kalau diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga menciptakan suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini hasan shahih)

Begitu pula daerah seorang perempuan di nirwana ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.

Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah tiba ke daerah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam kasus yang saya tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, lantaran suamimu yaitu nirwana dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan laki-laki lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di ketika haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini dilarang ditaati.

Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laris menyerupai orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri dilarang keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapat siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke daerah tidurnya kemudian si istri menolak seruan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut hingga suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini yaitu dalil haramnya perempuan enggan mendatangi ranjang kalau tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur lantaran suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun kalau istri ada halangan, menyerupai sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.

Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ

“Bertakwalah kalian dalam urusan para perempuan (istri-istri kalian), lantaran bekerjsama kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka yaitu mereka dilarang mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia dilarang mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan kalau ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.  Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang perempuan mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Hadits di atas dipahami kalau tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun kalau seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami

Para fuqoha telah setuju bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah halal bagi seorang perempuan untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

“Tidak boleh seorang perempuan berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)

Ulama Syafi’iyah menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas yaitu larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini yaitu untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun kalau puasanya yaitu wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini memperlihatkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat dominan ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang perempuan menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melaksanakan keharaman. Demikian pendapat dominan fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan menyerupai itu haram kalau puasanya berulang kali. Akan tetapi kalau puasanya tidak berulang kali (artinya, mempunyai batasan waktu tertentu) menyerupai puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali kalau memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا

“Janganlah seorang perempuan menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani menyampaikan hadits ini hasan)

Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya

Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah menyerupai yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu.

Ia mengurusi binatang tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk menciptakan kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak daerah tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet lantaran menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)

Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda biar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka perempuan yang sama dengan mereka. Maka saya pun menikahi seorang perempuan yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,

فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا –

“Semoga Allah memberkahimu.” Atau dia berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)

Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami

Allah Ta’ala berfirman,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari menyampaikan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”

Kesembilan: Bersyukur dengan proteksi suami

Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan bahaya neraka Allah Ta’ala.

Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan nirwana dan neraka yang diperlihatkan kepada dia ketika shalat,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Dan saya melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan menyerupai hari ini. Dan saya lihat ternyata dominan penghuninya yaitu para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para perempuan menjadi dominan penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para perempuan itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu ketika ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) pasti ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah bagaimana kekufuran si perempuan cuma lantaran melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seolah-olah terhapus dengan kemarau sehari.

Kesepuluh: Berdandan anggun dan berhias diri di hadapan suami

Sebagian istri ketika ini di hadapan suami bergaya menyerupai tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik.

Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah perempuan yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan kalau dilihat suaminya, mentaati suami kalau diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga menciptakan suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini hasan shahih)

Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit proteksi yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).

Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, mempunyai sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya

Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang bisa memberi nafkah berdasarkan kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memperlihatkan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih)

: Jangan Mentang-Mentang Istri Bukan Pembantu, Kemudian Nusyuz! Dosanya Sungguh Berat

Keempatbelas & lima belas: Berbuat baik kepada orang bau tanah dan kerabat suami serta Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak kecuali kalau ada alasan yang benar

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .

“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih)

Nah, sudahkah engkau memenuhi kewajiban ini wahai istri?