Pola Didik Orang Renta Lebay, Ini 6 Pengaruh Negatifnya Pada Anak


Gambar ilustrasi (rockingmama.id)
Ini itu, semua yang dilakukan anak diatur oleh orang tua.

Ingat, anak punya potensi sendiri untuk berkembang dan mengenali lingkungan sekitarnya. Mereka bukan robot yang seenaknya saja bisa kita program.

Kalau sudah tau efek buruknya, jangan pernah nyesel kalau masih saja "lebay" mengasuh anak!

Hyper-parenting atau rujukan asuh "lebay" (berlebihan), Hal tersebut merupakan rujukan asuh di mana orang bau tanah selalu menuntut anak sesuai harapan orang tua.

Alvin Rosenfeld, psikiater lulusan Cornell University and Harvard University menyebutkan rujukan hyper-parenting sebagai rujukan asuh fasis dan menjauhkan anak dan orangtua dari hal-hal menyenangkan yang seharusnya bisa mereka lakukan.

Menurut pakar lain, Terri Apter, spesialis psikiatri cukup umur dari Newnham College, Cambridge, kecenderungan orang bau tanah untuk "memaksa sempurna" anak-anaknya ini dipicu oleh motivasi dan tuntutan yang dibuat oleh lingkungan sekitarnya.

"Ada anggapan bahwa hal ini ialah rujukan asuh baru, di mana orangtua harus mengeluarkan semua potensi anak di usia muda, kalau orangtua tidak mau kecewa di kemudian hari," kata Apter.

Apa efek negatif dari pengasuhan "lebay" ini terhadap perkembangan anak?

Dikutip dari kompas.com, Forum Sahabat Keluarga dari Kemendikbud menyebutkan ada 6 efek negatif dari rujukan asuh ini:

1. Kurang terampil bersosialisasi

Nurul Mufidah dan Muhammad Rifqi dalam penelitiannya yang berjudul " Hyper-parenting Effects Toward Child’s Personality in Stephen King’s Novel Carrie", menemukan sejumlah efek negatif dari penerapan rujukan asuh anak ini.

"Hyper-parenting akan membuat anak kurang percaya diri, kurang mandiri, gampang menyerah, gampang cemas dan takut menghadapi dunia luar. Selain itu anak menjadi kurang terampil dalam bersosialisasi,” tulis kedua peneliti.

2. Emosi kaku dan sulit dikontrol

Menurut keduanya, hyper-parenting akan menimbulkan anak mempunyai emosi kaku dan sulit dikontrol.

Selain itu, anak yang terlalu terbebani dengan hukum dan kiprah juga akan membuat tenaga dan pikirannya terkuras, yang bukannya mustahil akan berujung pada duduk perkara kesehatan si anak itu sendiri.

3. Gangguan acara fisik

Hal ini dijelaskan oleh Ian Janssen dalam risetnya yang berjudul "Hyper-parenting is Negatively Associated with Physical Activity Among 7–12 Year Olds."

Penelitian yang melibatkan 724 orang bau tanah dari anak berusia 7-12 tahun di Amerika Utara ini pertanda bahwa rujukan asuh hiper ini akan menimbulkan efek negatif pada acara fisik anak.

Padahal, acara fisik ini memainkan kiprah penting dalam memilih kesehatan mental, fisik, dan sosial anak.

4. Terlalu penurut dan rentan depresi

Kebiasaan orang bau tanah mengarahkan anaknya akan membuat anak menjadi terlalu penurut dan kurang bisa membuatkan talenta dan potensinya sendiri.

:
Banyaknya kiprah dari orang bau tanah dan aturan-aturan yang membatasi gerak mereka berpotensi membuat anak tertekan, terbebani, dan rentan depresi.

5. Rentan menjadi korban perundungan

Stanford Dean dan Julie Lythcott-Haims dalam buku "How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success" menuliskan bahwa anak kurang menerima kebebasan dari orangtua lebih rentan menjadi korban buli di sekolah ataupun lingkungannya.

Perundungan terjadi alasannya kurangnya kemampuan komunikasi antara anak dengan teman-teman.

Peraturan dan kiprah yang diarahkan orangtua otomatis membuat anak menjadi lebih sibuk, sehingga perlahan akan abai dengan lingkungan sekitar.

Kesibukan yang dijalani anak akan membuat waktu bermain anak menjadi sangat kurang. Selain itu, ia secara perlahan ditarik dari lingkungan sosialnya.

Konsekuensinya, bawah umur ini akan kesulitan berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sekitarnya.

6. Praktis terjangkit penyakit

Perilaku hyper-parenting juga mengarah pada pembatasan kegiatan anak dengan lingkungan bermainnya.

Sejumlah orang bau tanah bahkan melarang anak-anaknya bermain di tempat-tempat kotor.

Celakanya, penelitian yang dipublikasi di Journal of Allergy and Clinical Immunology mencatat, bawah umur yang tinggal di rumah yang terlalu higienis justru lebih gampang menderita alergi dan asma.

Orangtua mungkin berpikir anaknya harus sehat sehingga mereka terlalu overprotektif menjaga mereka dari paparan kotoran, debu, jamur. Tapi nyatanya, kotoran ialah belahan dari pengembangan sistem kekebalan badan anak. Ketika orangtua membuat lingkungan yang steril untuk anak justru membentuk anak menjadi lebih gampang sakit,” terperinci Todd Mahr, spesialis alergi dan imunologi.

Nah kalau sudah tau efek buruknya menyerupai itu, apa masih mau lebay mengasuh anak?

Memang benar orang bau tanah menginginkan anaknya menjadi yang terbaik, bisa rangking di kelas, pinter bahasa Inggris, juara matematika dan lain sebagainya.

Namun, sekali lagi yang harus disadari orang tua, anak mempunyai potensi sendiri.

Jangan lantas menimbulkan hal tersebut sebagai obsesi, alasannya hal tersebut justru jelek bagi tumbuh kembang mereka.

Jika anak mempunyai harapan lebih dalam belajar, kita sebagai orang bau tanah wajib mendukung dan membimbingnya. Bukan berarti harus mengatur sesuai harapan kita.

Demikian, biar bermanfaat.