Hukum Makelar Menerima Laba Dari Kedua Pihak (Penjual & Pembeli)


Gambar diolah dari abuanas-aljirani.blogspot.com

Bagiamana hukumnya makelar mendapat laba dari kedua pihak? Penjual maupun pembeli...

Apakah dalam islam hal tersebut di perbolehkan?

Berikut ulasannya...

Upah makelar atau perantara boleh dari penjual, boleh juga dari pembeli, tergantung aturan yang berlaku di masyarakat.

Jika dia diminta penjual untuk memasarkan barang, maka pada asalnya beban biaya makelar menjadi tanggung jawab penjual. Sebaliknya, dikala pembeli yang meminta untuk dicarikan tanah ke makelar, maka biaya makelar ditanggung pembeli.

Dr. Abdurrahman bin Soleh al-Athram – dalam disertasi dia perihal perantara dalam bisnis – yang berjudul: al-Wasathah at-Tijariyah fi al-Mu’amalat al-Maliyah – menyatakan,

فإذا لم يكن شرط ولا عرف ، فالظاهر أن يقال : إن الأجرة على من وسّطه منهما ، فلو وسطه البائع في البيع كانت الأجرة عليه ، ولو وسطه المشتري لزمته الأجرة ، فإن وسطاه كانت بينهما

Jika tidak ada kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat maka yang lebih tepat, upah makelar menjadi tanggung jawab orang yang menyuruhnya. Jika dia menjadi pemasaran bagi penjual untuk menjual barang maka upah makelar menjadi beban baginya. Dan kalau dia menjadi wakil dari pembeli, maka kewajibannya untuk memperlihatkan fee. Jika dia menjadi wakil keduanya, maka upah sanggup dari keduanya. (al-Wasathah at-Tijariyah, hlm. 382)

Sementara itu, berdasarkan Syafi’iyah, semua upah marketing dan makelaran ialah tanggung jawab penjual. Karena 2 alasan:

[1] Yang mendapat manfaat dari adanya pemasaran dan makelar ialah penjual. Sehingga barangnya lebih cepat laku.

[2] Ketika pembeli telah membeli barang dengan harga sekian, berarti sudah termasuk di dalamnya ialah semua beban biaya yang dikeluarkan untuk objek itu. Misalnya, dikala pembeli telah setuju dengan harga 1jt/m, berarti harga ini sudah termasuk semua biaya yang diharapkan untuk objek itu.

Dalam Hasyiyah al-Jamal – literatur Syafiiyah – dinyatakan,

الدلالة على البائع فلو شرطها على المشتري فسد العقد ومن ذلك قوله بعتك بعشرة مثلا سالما فيقول اشتريت لأن معنى قوله سالما أن الدلالة عليك فيكون العقد فاسدا

Biaya makelar menjadi tanggung jawab penjual. Jika disyaratkan, biaya makelar harus ditanggung pembeli, maka kesepakatan batal. Misalnya, ada orang menyatakan, ‘Saya jual beli dengan harga 10 dirham net.’ Lalu pembeli mengatakan, ‘Baik saya beli.’ maka makna ‘net’ memperlihatkan bahwa makelaran menjadi tanggung jawabmu. Karena itu, kalau dibebankan ke pembeli, kesepakatan menjadi batal. (Hasyiyah al-Jamal, 5/781).

Namun pendapat yang lebih sempurna bahwa upah makelar sanggup saja dibebankan ke penjual ataupun pembeli, tergantung kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat.

Karena yang mendapat manfaat dari makelar tidak hanya penjual, namun pembeli juga sanggup mendapatkannya. Dan terkadang ada biaya suplemen yang perlu dibebankan ke pembeli di luar harga objek. Selama pembeli ridha, ini dibolehkan.

Dilansir dari konsultasisyariah.com, ada pertanyaan yang diajukan ke Lajnah Daimah mengenai aturan nilai fee untuk para makelar.

Jawaban Lajnah Daimah,

إذا حصل اتفاق بين الدلال والبائع والمشتري على أن يأخذ من المشتري أو من البائع أو منهما معا سعيا معلوما جاز ذلك، ولا تحديد للسعي بنسبة معينة ، بل ما حصل عليه الاتفاق والتراضي ممن يدفع السعي جاز

Jika ada kesepakatan antara makelar dengan penjual dan pembeli bahwa biaya makelar akan dibebankan kepada pembeli atau penjual atau beban bersama, dengan nilai yang diketahui, hukumnya dibolehkan.

Dan tidak ada batasan untuk upah dengan angka tertentu. Namun boleh sesuai kesepakatan dan saling ridha dari semua pihak dikala menyerahkan upah.

Kemudian Lajnah Daimah menganjurkan semoga diubahsuaikan dengan kondisi pasar dan mengedepankan prinsip tidak memberatkan penjual maupun konsumen.

لكن ينبغي أن يكون في حدود ما جرت به العادة بين الناس ، مما يحصل به نفع الدلال في مقابل ما بذله من وساطة وجهد لإتمام البيع بين البائع والمشتري، ولا يكون فيه ضرر على البائع أو المشتري بزيادته فوق المعتاد

Hanya saja, selayaknya upah diubahsuaikan dengan batasan (pasaran) yang berlaku di masyarakat, dimana makelar sanggup mendapat ganti manfaat atas upayanya menjadi mediator dan usahanya dalam memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli, dan tidak memberatkan penjual maupun pembeli, sebab adanya penambahan harga melebihi biasanya. (Fatwa Lajnah Daimah, 13/129).

Demikian, Allahu a’lam.