Pengertian Ilmu Hakikat, Syariat, Tarekat Dan Makfirat


Hakikat via abufahmiabdullah.wordpress.com

Apa sebenarnya ilmu hakikat itu? Apa perbedaan ilmu hakikat, syariat, tarekat, dan makfirat? Temukan jawabannya disini.

Barangsiapa yang tidak memperoleh ilmu di peringkat yang khusus, maka mereka tidak akan paham bagaimana orang yang di peringkat itu diizinkan melihat atau memahami ilmu tersebut. Ilmu hakikat ini memang kini tergolong langka, jarang sekali ada seorang guru yang mau mengajarkan ilmu hakikat ini kepada khalayak umum.

Adapun ilmu hakikat atau ilmu batin memang dihentikan disiar-siarkan kecuali kepada orang yang menginginkannya. Apa itu sebenarnya ilmu hakikat, syariat, tarekat dan makfirat? Dibawah ini yaitu klarifikasi mengenai ilmu-ilmu tersebut.

Pengertian Ilmu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat Terlengkap 

Kuartian Ilmu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat Terlengkap
Sebelum kami jelaskan perihal pengertian Ilmu Hakikat, Syariat, Tarekat, dan Makrifat, marilah  kita jelaskan kapan datangnya istilah-istilah tersebut.

Istilah tersebut sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada, istilah tsb muncul ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw, yaitu sehabis Rasulullah saw, Shahabat Nabi, Tabi'in, Itabi'in, sehabis kegenerasi ketiga itulah munculnya para Tasawuf pada Abad ke 11 (5 H) Tasawuf digunakan setiap calon

Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada dalam kehadiratnya tanpa dibatasi hijab.Bagaimana berdasarkan syareat Islam? Ahlus sunah Waljama'ah? Suatu cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah diatas dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber aturan dalam Islam (Al-Qur'an, Hadist) dan Syariat yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Kaprikornus para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin  dalam mengamalkan syariat itu bersungguh secara istiqomah dalam mendekatkan diri kepada kepada Allah swt.

Pengertian Syariat

Syariat (Islam) yaitu aturan dan aturan (Islam) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi aturan dan aturan, syariat (Islam) juga berisi penyelesaian perkara seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat (Islam) merupakan panduan menyeluruh dan tepat seluruh permasalahan hidup insan dan kehidupan dunia ini.

Syariat yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt, atau aturan yang sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal Aqidah, perkara aturan baik haram halal, syarat atau rukun dsb yang mengatur hubungan insan dengan penciptaNya atau Sesama Manusia.

Dalam Syariat aturan udah baku tidak sanggup dirubah, tidak mirip ilmu fikih sanggup dirubah. Dalam ilmu Tasawuf syariat yaitu yang mengatur amal ibadat dan muamalat secara lahir.

Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau batiniah atau rohani yah disebut Tasawuf  dan ilmu bagi amalan lahir, dalam tingkat ini Syariat itu di ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam

.
Pebedaan via ahmaddahlan.net

Pengertian Tarekat

Tarekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini yaitu jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya tarekat yaitu kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama yaitu mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama yaitu shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain yaitu menutup aurat, makan masakan halal dan lain sebagainya.

Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Kaprikornus tarekat sunnah ini yaitu perhiasan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang sanggup menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, mirip shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam lapangan tasawuf istilah ini digunakan calon sufi yaitu jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam yang mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam yang harus dikerjakan secara istiqamah yaitu maqam taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.

Dalam tingkat ini yaitu menghidupkan Syareat sebagai amalan lahir atau amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka mengnguatkan keimanan dalam hati. Pada tingkat tarekat ini di ibaratkan menanam benih biji (Syariat) tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok yang bercabang dan berdaun.

Ilmu Hakikat 

Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah, atau gerak dan membisu itu diyakini dalam hati pada hakikatnya yaitu kekuasaan Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal Ma`rifat).

Hakikat; yaitu kebenaran, kenyataan (Poerwadarminta,1984) hakekat menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa (Konsep Dasain Interior II, Olih Solihat Karso).
Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi mengakibatkan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang sehabis mencapai makrifat yang sebenar-benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang mempunyai indra ke 6.

Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat)  pada tingkatan tharikat  menjadi batang yang becabang, berdaun kalau pada tingkatan ini kita amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk kita akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada hijab atau tabir atau penghalang lagi.

Ilmu Makrifat

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain :

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang menyampaikan : "Marifat yaitu ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat yaitu hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu bekerjasama dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: "Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam kecerdikan pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)." marifat arti secara umum yaitu yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat berdasarkan hebat fiqhi yaitu ilmu. setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim cerdik dan setiap ‘arif itu alim. Ma‘rifat berdasarkan hebat shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA.

Marifat berdasarkan bahasa yaitu menggetahui Allah SWT. Marifat berdasarkan istilah yaitu sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir dan sebagainya semua yaitu Alloh SWT, yang membuat dan yang mengerakan. Kaprikornus semuanya dan segala sesuatu yaitu Billah. Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, berdasarkan al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat kecerdikan sehat rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat pandangan gres atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik.


Ilmu syariat via akarpadinews.com

Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak sanggup ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh kecerdikan (rasio). Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan kiprah indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia mistik yang tidak sanggup ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup mirip ini berakibat pada banyaknya perkara kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi kiprah manusia.

Makrifat, berdasarkan al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang tepat (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat kecerdikan sehat rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat pandangan gres atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.

Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak mendapatkan keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, lantaran ia yaitu pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك

“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan terang sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga mustahil salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.


Secara definitif, makrifat berdasarkan al-Gazali ialah :

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, sanggup dikatakan bahwa obyek makrifat dalam aliran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan perihal Tuhan, tetapi juga meliputi pengenalan perihal segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, sanggup pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) bisa mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu - para ’arifin.

Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, mirip karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, lantaran mereka bisa menjangkau sunnah-Nya yang tak sanggup dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, sanggup dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali meliputi pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan perihal cara seseorang memperoleh pengetahuan perihal Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap aliran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin sanggup mengenal-Nya dengan sempurna, alasannya yaitu insan itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).  Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, berdasarkan al-Gazali, tidak sanggup dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik mirip inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf.

Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia yaitu apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang bisa mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, kalau diungkapkan dengan kata-kata, sudah sanggup dipastikan salah paham dari pendengar yang tak bisa melepaskan ikatan duniawi.

Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, lantaran tidak ada bahasa yang sanggup menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah lantaran menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan pribadi dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.

Kenyataan ini, berdasarkan ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, yaitu tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama perihal hakikat tasawuf.

Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah mendapatkan pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf bekerjasama dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.

Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain yaitu cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui perjuangan keras; mencar ilmu keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia.

Pada tahap final semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melaksanakan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau budpekerti tercela lainnya. Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat yaitu hidupnya hati beserta Allah Ta'ala.


Pengertian ilmu via lajnahamalshaleh.com

Ditulis oleh al-Ghazali, sebenarnya pernah terjadi obrolan antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu yaitu hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali-Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, biar yang melihat-Nya tidak terbakar. Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang yaitu kalau di hatinya telah tidak dijumpai daerah untuk lain selain Allah.

Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama perihal hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya yaitu menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. Potret dan teladan figur yang telah hingga pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, contohnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq. Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan saya menyembah dzat yang saya lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku".

Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah saya menyembah yang kuasa yang tidak bisa saya lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau sanggup melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) yaitu sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia mustahil sanggup diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia.

Dalam pandangan al-Ghazali, belakang layar serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat yaitu tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.

Adapun sumber ma'rifat berdasarkan al-Ghazali ada empat yaitu :

a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera yaitu termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, kecerdikan juga yaitu merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memperlihatkan cakupan yang luas bagi kecerdikan sebagai sumber ma'rifat sanggup mengakibatkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagaiutama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu yaitu sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi aliran Islam.

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali yaitu cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati sanggup melihat dan mencicipi sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf yaitu sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar sehabis wahyu.

Tingkatan ma'rifat, berdasarkan al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan doktrin seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan doktrin seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini yaitu doktrin taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para hebat kalam. Mereka yaitu orang-orang yang mengaku hebat kecerdikan dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin.

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis: “Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, lantaran Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu yaitu pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang sanggup ditemukan dari laris lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut biar melihat kecil apa yang tiba dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik mirip ini akan membentuk sikap berinfak tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri.

Orang yang terdidik mirip ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah. Orang yang hatinya suci higienis akan mendapatkan pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah yaitu Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia mustahil ditemui dan dikenali kecuali kalau Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang bisa memberikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang sanggup dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak bisa berjalan lebih jauhdari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang sanggup mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.


Syariat via suhukampus.ga

Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia berinfak dengan impian dirinya layak untuk mendapatkan kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia memakai kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat.

Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu. Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidakada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt. Ma’rifat berdasarkan Drs Imron Rosadi MA, yaitu pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat yaitu mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari sanggup melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubariseorang sufi sanggup melihat Tuhan. Dan kondisi mirip itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari insan terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artiny bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun berdiri hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat yaitu anugerah dari Tuhan.

Tuhanlah yang berkenan memperlihatkan pengetahuan pribadi dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk mendapatkan Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri insan dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati lantaran tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya yaitu ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, lantaran pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu daerah ke daerah lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di ekspresi masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan sikap yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melaksanakan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara wanita Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun sehabis dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan gejala yang dimiliki oleh Shufi bila sudah hingga kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak mengakibatkan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, lantaran hal-hal yang nyata berdasarkan aliran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, lantaran hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita sanggup melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar sanggup menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal menyampaikan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup sanggup memperlihatkan kebahagiaan batin padanya, lantaran merasa selalu tolong-menolong dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, lantaran ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa petaka bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputusmeskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu yaitu keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni aliran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin sanggup ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.


Pengetahuan via limawaktu.id

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah hingga pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf sehabis menempuhj alan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat yaitu mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya perihal bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi usang araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku lantaran Tuhanku, dan sekiranya tidak lantaran Tuhanku, pasti saya tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat terkenal dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melaikan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak sanggup diperoleh melalui pemikiran dan kecerdikan sehat akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat yaitu pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu: Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat. Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pintar mengenal dan mengetahui Tuhanberdasarkan logika dan kecerdikan sehat akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari. Ma’rifat yang sesungguhnya yaitu Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah hingga kepada Ma’rifat yaitu Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya. Banyaknya nikmat  yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan. Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha biar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah gampang meskipun selintas sanggup dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan nrimo beribadah dan sungguh-sungguh menyayangi dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk mendapatkan cahaya yang dipancarkan, yang pada jadinya Sufi sanggup melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melaksanakan perjuangan yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang kala ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui perihal rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian mustahil Ma’rifatullah menjadi sempurna, lantaran insan sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar perihal keterbatasan insan dengan menyampaikan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”. Paham Ma’rifat Zunnun sanggup diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang kuat di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui sanggup mengakibatkan Tasawwuf diterima kaum syari’at.

Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf mirip yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”

Ma’rifat berdasarkan al-Ghazali yaitu maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang mempunyai daya tarik dan yang memberi efek pada kalbu, yang lantas kuat pada seluruh acara jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) perihal sesuatu yaitu mirip “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat yaitu “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat yaitu pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun  berdasarkan istilah yang sering digunakan memperlihatkan ilmu pengetahuan perihal apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat yaitu pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu yaitu Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat yaitu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. yaitu Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat yaitu mengetahui sesungguhnya Allah swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa belakang layar ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya yaitu tauhid. Yaitu, kalau anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya]. Lalu, apa gejala ma`rifat? Tanda-tandanya yaitu hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “ Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang sanggup disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] yaitu tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu biar mereka hingga pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, biar yang melihat-Nya tidak  terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab, Pastilah seluruh makhluk sempurna, Namun hijab itu amat halus, Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian hebat ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah membuat dunia sebagai kegelapan, dan mengakibatkan matahari sebagai cahaya. Allah mengakibatkan kalbu juga gelap, kemudian dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.” Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat yaitu cahaya yang dikaruniakan didalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”


Rahasia ilmu via akarpadinews.com

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap lantaran gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami insiden gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair: Matahari siang tenggelam di waktu senja, matahari kalbu tiada pernah tenggelam. Siapa yang menyayangi Sang Kekasih, Kan terbang sayap rindunya menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat yaitu penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya: Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan Cahaya I1ahi dengan belakang layar di atas belakang layar Yang terdapat dalam banyak sekali hijab Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta. Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat yaitu musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang sanggup anda lihat atau tidak sanggup anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan saya menyembah Yang saya lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi,
“Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak sanggup dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) sanggup melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada kecerdikan sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah yaitu mirip kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang terang dan yang tidak tampak sanggup dikenali. Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid sanggup diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin - ketahuilah-keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin yaitu kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi mirip ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn perkara dunia maupun akhirat. Dikatakan, Air menjadi terang ketika higienis dari kekeruhannya.”

Ilham yaitu pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai alasannya yaitu dan upaya, tetapi dengan pandangan gres pribadi dari Allah swt. sehabis kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat. Sementara firasat yaitu pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena pandangan gres tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus.

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya perihal ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu tiba lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segalakemampuan atau yang lebih dikenal sebagai perjuangan (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi  rahimahullah  ditanya perihal sifat orang yang arif, kemudian ia menjawab, “Orang cerdik yaitu orang yang tidak terkontaminasi oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Ma’rifat itu ada dua : Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq yaitu ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak sanggup meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.(Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj  rahimahullah  menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan bisa dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika pecahan terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu? Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin sanggup dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan mengakibatkan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli rahimahullah  pernah ditanya, “Kapan seorang cerdik berada dalam daerah al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.” “Apa awal dari perkara ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya yaitu ma’rifat dan ujungnya yaitu mentauhidkan-Nya.” Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat yaitu melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat yaitu rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami  rahimahullah  pernah ditanya perihal sifat orang arif, kemudian ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna daerah (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam daerah yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam daerah yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula kalau Anda tuangkan ke dalam daerah yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh banyak sekali kondisi. Sementara itu yang mengendalikan banyak sekali kondisi spiritual yaitu Dzat Yang mempunyai dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj  rahimahullah  menjelaskannya: Artinya, : hanya Allah Yang Mahatahu, bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna daerah (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi orisinil air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam daerah tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang cerdik dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh banyak sekali kondisi spiritual, maka belakang layar hati nuraninya “bersama” Allah yaitu dalam satu makna.

Al-junaid  rahimahullah  pernah ditanya perihal rasionalitas orang-orang cerdik (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya perihal ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, lantaran ia telah menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid  rahimahullah  ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang cerdik kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya yaitu proteksi dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi  rahimahullah  berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin menentukan apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang cerdik yaitu berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang diperlukan orang-orang arif?” Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi buruk seluruhnya. Akhlak itu yaitu istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz  rahimahullah  ditanya perihal sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.” Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi perihal orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) kemudian ia terpisah dengan
mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri  rahimahullah  ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak sanggup diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang mempunyai batas bisa memahami Dzat yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang mempunyai kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak mempunyai kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat, Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat yang menentukan ruang dan daerah itu sendiri. Demikian pula Yang mengakibatkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahuimmana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) yaitu juga Akhiriyyah (akhir) dan final yaitu juga awal.

Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu dikala Dia menghilangkan Anda dan suatu dikala menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara pribadi yaitu menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah pribadi dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan perihal hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama mirip pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama mirip pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang bersahabat berdasarkan Dia sama mirip yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama mirip yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam perkara bersahabat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu yaitu sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’  rahimahullah  pernah mengemukakan sebuah ungkapan perihal ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar yaitu ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap buruk itu akan menjadi buruk hanya lantaran tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya lantaran tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).

Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung semenjak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak terang bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka sehabis itu, tidak ada keuntungannya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”


Ilmuku via al-mubarok.com

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi lantaran Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, lantaran Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap buruk itu akan menjadi buruk hanya lantaran tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya yaitu lantaran Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya lantaran tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya yaitu lantaran Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu yaitu sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadits:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan dia ada dua buah Kitab : Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian dia berkata, “Ini yaitu Kitab catatan para penghuni nirwana lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini yaitu Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.”(H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum cerdik telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”

Demikian juga orang yang memperlihatkan sebuah komentar perihal makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”

Demikian klarifikasi tantang ilmu hakikat, syariat, tarekat dan makfirat. Semoga pengetahuan ini bisa menambah pengetahuan dan bermafaat bagi Anda.