Perdebatan Seputar Air Kencing Kucing, Benarkah Hukumnya Najis?
Gambar dilansir dari okdogi.com
Penting di fahami supaya tak kembali menjadi perdebatan...
Ketika ada seorang Ustadz menyampaikan kencing kucing tidaklah najis, banyak orang kemudian menghujat dan mengolok-olok bahkan menghina. Mereka beranggapan bahwa kencing kucing tetaplah jorok dan najis.
Lantas mana yang benar?
Perlu kita fahami, pendapat wacana “Tidak” najisnya kencing kucing ini dipilih oleh sebagian ulama besar yang dikenal menyerupai Al-Imam Al-Bukhari dan Asy-Syaukani rahimahumallahu.
Sebelum menyebutkan pendalilan akan “tidak najisnya kencing kucing” ada beberapa perkara yang perlu ditegaskan kembali,
Pertama, Tidak semua yang kotor ialah najis.
Contoh ingus, upil, nasi basi, ayam basi, dll. Demikian juga kecing onta dan kotorannya serta kencing kambing dan kotorannya juga tidak najis.Bahkan berdasarkan pendapat yang terkuat bahwa kecing dan kotoran binatang yang sanggup dimakan ialah tidak najis meskipun semua orang setuju akan ke-kotorannya.
Kedua, Tidak semua yang haram dimakan maka otomatis menjadi najis.
Contohnya racun. Benda ini haram namun tidak najis. Demikian juga -menurut pendapat yang terkuat- bahwa khomer itu haram namun tidaklah najis.Ketiga, Tidak ada “ijmak” (kesepakatan) para ulama akan najisnya kencing kucing.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.
Al-Imam Al-Bukhari menciptakan suatu belahan dalam shahihnya yang dia beri judul :
بَابُ أَبْوَالِ الإِبِلِ، وَالدَّوَابِّ، وَالغَنَمِ وَمَرَابِضِهَا
“Bab : (tentang) air kencing onta, hewan-hewan, kambing dan kendangnya”.
Lalu dia berkata :
وَصَلَّى أَبُو مُوسَى فِي دَارِ البَرِيدِ وَالسِّرْقِينِ، وَالبَرِّيَّةُ إِلَى جَنْبِهِ، فَقَالَ: «هَاهُنَا وَثَمَّ سَوَاءٌ»
“Abu Musa (al-‘Asyari) pernah sholat di rumah al-Bariid (yaitu rumah daerah singgah pengantar surat-surat) dan di As-Sirqiin (yaitu kotoran binatang secara umum), dikala itu tanah lapang ada di samping beliau, kemudian dia mengatakan, “Sholat di sini dan di sana (tanah lapang) sama saja”. Kemudian Al-Imam Al-Bukhari membawakan hadits wacana dongeng ‘Uroniyyin, dimana Nabi menyuruh mereka berobat dengan meminun kencing onta.
Mengomentari hal ini al-Imam Ibnu Hajar berkata,
لَكِنَّ ظَاهِرَ إِيرَادِهِ حَدِيثَ الْعُرَنِيِّينَ يُشْعِرُ بِاخْتِيَارِهِ الطَّهَارَةَ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُ فِي حَدِيثِ صَاحِبِ الْقَبْرِ وَلَمْ يَذْكُرْ سِوَى بَوْل النَّاس وَإِلَى ذَلِك ذهب الشّعبِيّ وبن عُلَيَّةَ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ وَهُوَ يَرُدُّ عَلَى مَنْ نَقَلَ الْإِجْمَاعَ عَلَى نَجَاسَةِ بَوْلِ غَيْرِ الْمَأْكُولِ مُطْلَقًا
“Akan tetapi dzohir dari perilaku Al-Bukhari yang membawakan hadits al-‘Uroniiyin mengiysaratkan bahwa dia (al-Imam Al-Bukhari) menentukan bahwa kencing hewan-hewan tersebut suci. Dan ini juga ditunjukan oleh perkataan dia wacana hadist penghuni kubur (yang diadzab lantaran najis kecingnya) “Nabi tidak menyebutkan kencing manusia”. Dan inilah pendapat As-Sya’bi, Ibnu ‘Ulayyah, Dawud (az-Dzohiri) dan yang lainnya. Dan ini membantah orang yang menukil wacana ijmak (kesepakatan) ulama akan najisnya kencing binatang yang haram di makan secara mutlak” (Fathul Baari 1/335)
Sangat terperinci bahwa Ibnu Hajar membantah orang yang menyatakan bahwa najisnya kencing kucing ialah ijmak, lantaran ada para ulama yang menyatakan tidak najis, diantaranya As-Sya’bi, Ibnu ‘Ulayyah, Dawud, Al-Bukhari, dan yang lainnya.
Keempat : Pendapat ini juga yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani dengan pendalilan yang sangat kuat.
Sebagaimana dia paparkan dalam kitab dia Nailul Author. Sisi pendalilan dia bahwa kencing kucing tidak najis ialah sbb.,1. Hukum asal sesuatu ialah suci, sampai ada dalil yang membuktikan akan kenajisannya.
2. Telah tiba dalil-dalil shahih yang membuktikan bahwa kencing onta dan kambing ialah suci, dan ini semakin menguatakan bersama-sama aturan asal sesuatu ialah suci termasuk kencing dan kotoran hewan. Dan dalil-dalil ini nas tegas bahwa kotoran dan kencing binatang yang halal dimakan ialah suci, lantaran kambing dan onta halal dimakan.
3. Adapun kencing dan kotoran binatang yang haram dimakan (termasuk kucing), juga kembali kepada aturan asal yaitu suci, sampai ada dalil yang membuktikan kenajisannya.
4. Najis ialah suatu aturan yang keluar dari aturan asal. Karena itu, sesuatu tidak sanggup dinyatakan najis kecuali ada dalilnya yang mengeluarkan dari aturan asalnya.
5. Tidak ada dalil yang membuktikan bahwa kencing seluruh binatang najis.
Adapun dalil yang dijadikan argumentasi oleh asy-Syafi’iyah yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنْ الْبَوْلِ
“Salah satunya diadzab lantaran tidak higienis dari kencing”, dengan maksud bahwa kencing di sini ialah umum meliputi seluruh kencing hewan. Maka pendalilan ini dibantah oleh al-Imam Al-Bukhari bahwa yang dimaksud ialah kencing insan bukan yang lainnya. (lihat Fathul Baari 1/321, Syarh Ibnu Bathhool 1/326-327).
6. Dalil yang paling berpengaruh akan najisnya kencing binatang yang haram dimakan ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait الرَّوْثَةُ (kotoran).
Beliau mengatakan,
إنَّهَا رِكْسٌ
“Itu ialah najis” (sebagaimana dalam hadits ibnu Mas’ud, dan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa kotoran tersebut ialah kotoran himar, yaitu dalam riwayat Ibnu Khuzaimah,
إنَّهَا رِكْسٌ إنَّهَا رَوْثَةُ حِمَارٍ
“Itu ialah najis, sesungguhnya itu ialah kotoran himar” (lihat Fathul Baari 1/257).
Hadits ini nash bahwa kotoran himar najis. Dan الرَّوْثَةُ secara bahasa dipakai untuk menyebut kotoran kuda, bighol, dan himar. (Sementara kuda halal untuk dimakan)
Adapun hewan-hewan yang haram dimakan yang lainnya maka kotorannya juga najis dengan dalil qiyas terhadap kotoran himar dengan kesamaan sama-sama haram dimakan.
7. Namun qias ini dikritiki oleh Asy-Syaukani, dia menjelasakan bila ‘illah/sebab yang mengakibatkan kotoran sesuatu haram ialah lantaran binatang tersebut haram dimakan ternyata terbantahkan dengan najisnya kotoran jallaalah, padahal jallaalah boleh dimakan, namun kotorannya najis.
8. Makara bila terdapat dalil yang membuktikan bahwa kotoran atau kencing binatang tertentu sanggup diqiaskan dengan kotoran himar maka diikutkan. Dan bila tidak maka kembali kepada aturan asal yaitu suci. (Lihat klarifikasi Asy-Syaukani di Nailul Authar 1/71)
Dan pendapat ini juga yang dikuatkan dan dipilih oleh Muhammad Ali Adam dalam kitabnya Dzakhiirotul ‘Uqbaa 1/520-522 dan 5/140-141).
Tulisan ini hanya ingin menjelaskan sisi pendalilan al-Imam Asy-Syaukani bukan dalam rangka merajihkan.
Adapun berdalil untuk menyatakan bahwa “kencing kucing tidak najis” dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kucing itu tidak najis lantaran dia sering mengelilingi kalian” maka kesimpulan dari dalil ini, kurang kuat.
Karena bila jasad sesuatu binatang tidak najis maka tidak menyampaikan kotorannya juga tidak najis.
Seperti manusia, tubuhnya suci namun kotorannya najis. Demikian juga himar badannya tidak najis akan tetapi kotorannya najis.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA hafidzahullah, menyerupai kami lansir dari konsultasisyariah.com.
Pendapat Ustadz Abdul Somad wacana aturan kencing kucing, silahkan disimak videonya: