Khusus Orang Dewasa!!! Begini Ternyata Asal Undangan Dibalik Adanya Kutang Dan Kancut


Asal ajakan dibalik adanya BH dan kancut (sumber via kumparan.com)

Pernah kepikiran nggak, jikalau BH dan kencut (celana dalam) itu dari mana asalnya ?

Benar juga jikalau barang ini tidak digunakan derajatmu sebagai perempuan perlu dipertanyakan.

Kali ini kami akan mengulas asal ajakan terciptanya BH maupun kancut secara lengkap,..

Kutang dan kancut (celana dalam). Keduanya bersahabat menempel pada keseharian kita meski tak berharga separuh nyawa kolam ponsel. Tanpa kutang dan kancut, kita ibarat bukan “manusia”. 

Ah, masa? Begitu mungkin kata sebagian darimu. Ah, iyalah. Coba saja, misal, kaum perempuan jalan-jalan ke mal, atau berangkat ke sekolah, atau pergi kerja ke kantor, tanpa kutang menopang payudara.

Dan para lelaki berkeliaran di terminal dan bandara tanpa kancut Penutup. Bisa bayangkan cobak bagaimana reaksinya ?

Minimal, orang-orang akan melempar tatapan dengan sorot mata hakim mengadili terdakwa disusul kasak-kusuk busuk. Mereka akan menyangkamu sedang frustrasi berat hingga lupa pakai kutang dan kancut, atau mengiramu terserang gangguan mental.

Tanpa kutang dan kancut, derajatmu sebagai insan waras dipertanyakan. Pokoknya, BH penyangga payudara dan cawat epilog alat kelamin itu punya tugas sosial vital untuk mendudukkan kita sebagai insan seutuhnya.

Mengingat kutang dan kancut ternyata sebegini penting, pernah ingin tau tidak dari mana dan kapan mereka datang?

Begini ceritanya...

Dahulu kala, di satu daerah menuju Gunung Arjuno, Jawa Timur, lelaki bercawat cokelat lama membuat Tunggul Ametung akuwu (kepala daerah) Tumapel (kini Malang) menghentikan perjalanan bersama pasukannya.

Dengan hanya berbalut cawat, sosok berkumis itu bangkit di atas batu. Ia ternyata seorang brahmana (pendeta Hindu) dari Tumapel.

Sang brahmana membawa perak bergambar Durga, dewi manis pemberani yang juga dikenal dengan sebutan Mahisasura Mardini atau Penakluk Asura. Asura ialah mahkluk supernatural yang dikisahkan berwujud banteng raksasa.

Tentara Tunggul Ametung lantas bersiap menyerang brahmana cawat cokelat itu. Namun, sang brahmana kemudian pergi sebelum pasukan Tunggul Ametung menghunus senjata.

Kisah itu yaitu fragmen novel Arok Dedes yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Dari nukilan itu, tergambar pakaian yang dikenakan masyarakat zaman Kerajaan Kadiri (tahun 1042-1222) yang kemudian menjadi Kerajaan Singosari (1222-1292) di bawah kekuasaan Ken Arok, pengawal sekaligus pembunuh Tunggul Ametung.

Pada masa itu, masyarakat telah menggunakan cawat untuk menutup kelamin, sedangkan badan bab atas dibiarkan terbuka, baik pria maupun perempuan.
Dalam goresan pena Pram soal epos Ken Arok, cawat digunakan oleh masyarakat biasa. Sementara kalangan atas punya gaya berpakaian yang berbeda.
Beda strata, beda busana. Jadi, busana memperlihatkan kelas memang sudah semenjak dulu. Istilah kerennya: you are what you wear.

Informasi soal busana nusantara tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Museum itu mencatat, keluarga berdarah biru di Kerajaan Singosari menggunakan batik untuk menutupi pinggang, kelamin, hingga kaki. Sementara badan bab atas yang tidak mengenakan sehelai kain pun, dikamuflasekan dengan perhiasan emas dan selendang tipis.

Aksesori emas juga menghiasi bab depan batik yang diikat ibarat sarung. Untuk perempuan, perhiasan emas itu punya fungsi tertentu. Ia biasa digunakan perempuan yang sedang ditinggal pergi suaminya.

:

Batik juga digunakan oleh bangwasan Majapahit, kerajaan yang berjaya sesudah Singasari (tahun 1293-1500). Mereka, dalam novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, mengenakan batik bercorak gringsing yang melambangkan kemakmuran, keseimbangan, dan kesuburan.



Seperti yang dilansir oleh Kumparan.com, dikisahkan bahwa Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, memperlihatkan batik gringsing kepada para prajuritnya yang hendak pergi berperang. Berseragam batik itu, semangat tempur bala tentara Majapahit jadi berlipat ganda.

Seperti kerajaan-kerajaan di Jawa, Bali pun dulu punya gaya busana hampir sama. Para perempuan tidak berpenutup dada, sedangkan badan bab bawah dililit kain tradisional yang disebut kamen.
Jika ada upacara adat, kamen dipadupadankan dengan hiasan kepala gelungan dan badong yang menutupi leher hingga dada.

Konon, telanjang dada para perempuan Bali ialah perlambang kejujuran. Jika payudara seorang perempuan masih kencang, artinya ia masih perawan. Pada masa itu, memang tak ada keharusan untuk menutup payudara. Ketelanjangan dipandang sebagai keindahan.

Hampir semua daerah di nusantara punya sopan santun sama dalam berbusana di masa lalu: menutup kelamin saja, dan membiarkan badan atas tak berpenutup.

Hal tersebut, misalnya, ditemui di Papua dan Mentawai. Untuk menutup kelamin, perempuan Papua menggunakan akar tanaman yang diikat dengan tali. Akar itu biasanya berasal dari tanaman rumbia atau rotan.

Keterbukaan dada itu, berdasarkan antropolog UI Sri Murni, mempunyai makna secara budaya.
Jika payudara seorang perempuan masih terlihat sekel, maka ia dianggap masih dapat memperlihatkan keturunan. Dan perempuan dengan payudara kendur dinilai sudah tak dapat lagi memperlihatkan anak, sehingga tak jadi pilihan untuk disunting.

Sementara sopan santun menutup kelamin, berdasarkan Sri, yaitu untuk menjaga kesuburan.

Masa perkembangan berawal dari Eropa

Pemandangan masuk akal orang-orang tak berpenutup dada di tanah nusantara kemudian pudar seiring masuknya Eropa. Era penjajahan ikut membawa masuk korset kutang ketat panjang dari dada ke pinggul untuk membuat badan perempuan tampak langsing.

Korset yang digunakan perempuan Eropa semenjak sebelum kala ke-20 itu diciptakan untuk memperindah badan perempuan, terutama untuk menyembulkan payudara dan memperkecil lingkar pinggang.

Semakin besar payudara dan semakin kecil pinggang, seorang perempuan dianggap makin seksi.
Pakaian dalam ala Eropa itulah yang kemudian dibawa ke Indonesia pada zaman kolonialisme.

Kala itu, bangsa Eropa tiba dengan pakaian serba-glamor. Para lelaki mereka mengenakan setelan jas, dan kaum perempuannya menggunakan rok terusan yang sepaket lengkap dengan pakaian dalam.

Pengaruh Eropa lambat laun mengubah gaya busana nusantara beserta norma-norma kepatutan yang mengiringi. Perempuan di Jawa Bali yang semula berkebaya sederhana atau bertelanjang dada, jadi mengenakan pakaian yang lebih tertutup.

Sejarah Bra, Dikenal dengan Sebutan BH hingga Kutang di Indonesia

Konsep epilog dada atau kini dikenal dengan bra, serta buste holder (BH) dalam bahasa Belanda, sejatinya telah muncul semenjak masa Mesir Kuno. Sebelumnya, di kala ke-16, konsep pakaian dalam epilog dada dikenal dengan korset.

Menurut Cultural Encyclopedia of the Breast (2014), seorang sosialita berjulukan Mary Phelps Jacob, kemudian membuat bra atau buste holder (BH) pada tahun 1910, ketika akan mengenakan gaun untuk pergi ke sebuah pesta. Hal ini berawal dari ketidaknyamanannya dalam menggunakan korset yang sudah berabad-abad digunakan perempuan Eropa di banyak sekali belahan dunia.

"Bra pertama intinya hanya dua saputangan yang dijahit bersama, sehingga sangat ringan dan harus diikat di lehermu. Ini terlihat ibarat bikini halter top," ujar Lynn Boorady, dari Buffalo State University

Masuknya bra di Nusantara juga merupakan efek dari perempuan Belanda yang menggunakannya. Mereka bermukin di Indonesia semenjak tahun 1920-an.

Lidah orang Indonesia dikala itu menyebut BH sebagai (baca:beha). Kemudian, banyak juga yang mengucapkannya sebagai kutang.

Menurut KBBI sendiri, kutang merupakan pakaian dalam perempuan untuk menutupi payudara atau baju tanpa lengan.

Masuknya gaya eropa ke Indonesia



Busana ala Eropa makin hype ketika tokoh-tokoh sentral dalam usaha kemerdekaan Indonesia juga mengadaptasi cara berpakaian orang Eropa. Semisal Sukarno yang hampir selalu mengenakan jas safari meski dengan peci menempel di kepala sebagai ciri keiindonesiaan.

Gaya Sukarno yang dandy dan necis itu, berdasarkan desainer dan pengamat mode Sonny Muchlison, menular pada masyarakat Indonesia.

Istri keenam Sukarno, Dewi Sukarno yang asal Jepang, pun berbusana sesuai pakaian yang dikenalkan Sukarno padanya: kebaya kutu gres lengkap dengan korset, biar bentuk badan terlihat lebih indah.

“Yang ikut memperkenalkan bra sebagai bab dari sexiness juga Sukarno,” kata Sonny, Selasa (18/12).

Keraton-keraton nusantara juga disebut turut mempopulerkan bra di Indonesia sebagai pakaian dalam modern.

“Indonesia kan berkembang dari kerajaan. Keraton itu paling update dengan busana. Mereka yang mulai (memakai). Itu di zaman Sukarno,” imbuh Sonny.