Catat! Mulai 1 Maret, Obat Ini Tak Lagi Ditanggung Bpjs Kesehatan


BPJS Kesehatan (tirto.id)

Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018.

Setidaknya ada dua jenis obat yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan kepada masyarakat.

Berikut klarifikasi lengkapnya!

Kementerian Kesehatan tetapkan untuk menghilangkan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar obat yang ditanggung oleh layanan BPJS Kesehatan.

Penghapusan  yang berlaku 1 Maret tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 perihal Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 perihal Formularium Nasional.

Dalam keputusan yang dikeluarkan  19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan.
  • Pertama, obat bevasizumab yang dipakai untuk menghambat pertumbuhan kanker.
  • Kedua, cetuximab yang dipakai untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar).
Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam  formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.

Padahal, dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal sebanyak 12 kali.

Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang baru, santunan diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau hingga terjadi terjadi perkembangan atau timbul imbas samping yang tidak sanggup ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu. Padahal dalam keputusan menteri yang lama, peresepan diberikan maksimal 12 kali.

Penjelasan Menkes


Menteri Kesehatan, Nila Moeloek. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, penetapan obat yang masuk ke dalam formularium nasional tersebut sudah dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan masukan tim penilai.

Salah satu pertimbangan penilaiannya yaitu dari sisi efektifiras harga dibandingkan dengan manfaat.

"Jadi kami untuk JKN ada evaluasi cost effectiveness. Kalau sebuah obat ini terlalu mahal kemudian ada obat yang lebih murah, kenapa tidak? Makanya kini lebih banyak pakai obat generik, ternyata obat generik keuntungannya sama," terang Nila, sebagaimana dikutip dari CNNINdonesia.com di Jakarta, Rabu (20/2).

Keputusan ini dinilai merugikan pasien


ilustrasi (kompas.com)

Keputusan menteri kesehatan tersebut menuai protes. Ketua umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menyesalkan keputusan tersebut.

Ia menilai pasien Program Jaminan Kesehatan Nasional seharusnya mempunyai persamaan hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas dan terjangkau.

Sebab, mereka telah menjalankan kewajiban dengan membayar iuran baik secara sanggup bangun diatas kaki sendiri maupun Penerima Bantuan Iuran (PBI).

"Jika obat tersebut dianggap tidak value for money, kemudian bagaimana menilai hidup pasien kanker yang membutuhkannya?" kata Aryanthi kepada CNNIndonesia.com.

:


Ia menyampaikan kalau tidak dianulir keputusan tersebut sangat merugikan pasien JKN. Oleh lantaran itu, ia berharap Kemenkes sanggup menarik keputusannya.

Aryanthi beropini sebaiknya Kemenkes melibatkan banyak sekali pihak, termasuk pasien sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut.

"Mohon semua pihak sanggup duduk bersama mencari jalan keluar terbaik biar obat tetap dijamin dan pasien tetap sanggup mendapat haknya," ujarnya.

Nah, bagaimana berdasarkan Anda?