Berbagai Pendapat Ulama' Wacana Mengucapkan Hari Natal, Bolehkah Sebenarnya?


Hukum mengucapkan hari natal (Sumber via hidayatullah.com)

Tepat hari ini umat Kristiani memperingati perayaan hari Natal.

Yang menjadi duduk kasus kali ini, bolehkah sebetulnya kita sebagai umat muslim mengucapkannya ?

Berbagai ragam pendapat ulama' pun muncul seiring duduk kasus ini.

Menjelang perayaan Natal mirip ini, biasanya muncul perdebatan di tengah masyarakat perihal aturan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani atau siapa saja yang memperingatinya. Tidak jarang, perdebatan itu menjadikan percekcokan, bahkan vonis kafir (takfîr).

Untuk menjawab hukumnya, penulis akan mengupasnya dalam beberapa poin.

Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara terperinci dan tegas menandakan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal.

Padahal, kondisi sosial ketika nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam hidup mengharuskannya mengeluarkan ajaran perihal aturan ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Kristen (Kristiani).

Kedua, sebab tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara terperinci dan tegas menandakan hukumnya, maka kasus ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:


لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Permasalahan yang masih diperdebatkan dihentikan diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan aturan permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat.

:

Ragam pendapat ulama perihal mengucapkan hari natal

1. Pendapat Pertama

Sebagian ulama, mencakup Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.

Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:


وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menawarkan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan ciri orang yang akan menerima martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak menawarkan kesaksian palsu.

Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah menawarkan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani perihal hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan menerima martabat yang tinggi di surga.

Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya HARAM.

Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ      

"Barangsiapa ibarat suatu kaum maka dia termasuk pecahan kaum tersebut." (HR. Abu Daud, nomor 4031).

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti ibarat tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap pecahan dari mereka. Dengan demikian, aturan ucapan dimaksud ialah haram.

2. Pendapat Kedua

Sebagian ulama, mencakup Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.

Seperti yang dilansir oleh NU.or.id, Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:


لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ   

Artinya: “Allah tidak melarang kau untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu sebab agama dan tidak (pula) mengusir kau dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya.

Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga DIPERBOLEHKAN.

Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik:


كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, kemudian dia duduk di akrab kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya bila ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.

Dari pemaparan di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal ucapan selamat Natal. 

Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk menentukan pendapat yang benar berdasarkan keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini dihentikan menjadi konflik dan menjadikan perpecahan.

Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Kristen Iliya’ (Quds/Palestina):


هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ.


“Ini merupakan tunjangan hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau menawarkan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka dihentikan diduduki dan dihentikan dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609)

Wallahu A'lam.